SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Arti Sebuah Jeda: Mengenali Kekuatan Berhenti Sejenak - Senandika #9

Dalam hidup yang terus bergerak, kita lupa untuk berhenti. Temukan kekuatan jeda, temukan dirimu yang sejati di dalam keheningan.
Arti Sebuah Jeda: Mengenali Kekuatan Berhenti Sejenak - Senandika #9

Aku duduk di sini, dan rasanya seperti aku masih bergerak, meskipun aku sudah berhenti. Pikiranku terus berlari, daftar tugas terus berputar di kepalaku. Napasku pendek dan cepat. Rasanya seperti ada sesuatu yang mendesakku untuk terus bergerak, terus melakukan sesuatu.

Pernahkah kamu merasakannya? Hidup terasa seperti jalan tol yang tidak memiliki pintu keluar. Kita terus menginjak pedal gas, berlomba dengan waktu, berlomba dengan orang lain. Kita bangga dengan kesibukan kita. Kita menganggapnya sebagai tanda keberhasilan, sebagai tanda bahwa kita penting. Aku dulu berpikir begitu. Aku berpikir, semakin sibuk aku, semakin berharga diriku. Aku mengisi setiap detik kosong dalam hidupku. Aku tidak bisa duduk diam. Aku harus mendengarkan podcast, membaca berita, membalas email. Aku takut dengan keheningan. Aku takut dengan ruang kosong.

Tapi, semakin cepat aku bergerak, semakin aku merasa kosong. Semakin aku melakukan banyak hal, semakin aku merasa ada sesuatu yang hilang. Aku seperti sebuah mesin yang terus bekerja, tapi tidak tahu untuk apa. Aku terus berlari, tapi tidak tahu ke mana tujuanku. Dan kemudian, suatu hari, mesin itu macet.

Aku merasa lelah yang bukan hanya fisik, tapi lelah yang sampai ke tulang. Aku merasa jenuh, kosong, dan sangat kesepian, meskipun aku dikelilingi banyak orang. Saat itu, aku tidak punya pilihan selain berhenti. Dan di dalam keheningan yang dipaksakan itu, aku akhirnya mendengar sebuah suara. Suara yang selama ini coba kuabaikan.

Suara yang mengatakan, "Berhenti. Kamu perlu istirahat. Kamu perlu jeda."


Aku dulu melihat jeda sebagai sebuah kegagalan. Sebuah tanda kemalasan. Sebuah tanda bahwa aku tidak cukup kuat. Tapi aku menyadari, itu adalah pandangan yang sangat salah. Jeda bukanlah kelemahan. Jeda adalah sebuah kekuatan. Itu adalah sebuah keberanian untuk berkata, "Aku tidak akan lari lagi." Keberanian untuk berdiri diam di tengah-tengah badai, dan hanya merasakan angin, hanya merasakan hujan.

Tapi kenapa jeda itu begitu sulit?

Pertama, karena jeda memaksa kita untuk menghadapi diri kita sendiri. Saat kita berhenti berlari, kita tidak punya lagi hal-hal untuk mengalihkan perhatian kita. Kita harus menghadapi pikiran kita. Kita harus menghadapi emosi kita. Kita harus menghadapi rasa takut kita. Dan itu bisa sangat menakutkan. Aku dulu takut dengan keheningan karena keheningan itu penuh dengan suara-suara yang selama ini coba kututup. Suara-suara tentang penyesalan, tentang ketidakpuasan, tentang keraguan. Aku terus bergerak untuk tidak mendengarnya. Tapi sekarang, aku sadar, aku tidak akan bisa sembuh jika aku terus berlari dari suara-suara itu. Aku harus mendengarkannya.

Jeda adalah sebuah ruangan yang tenang, di mana kita bisa akhirnya mendengar apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri kita.

Kedua, karena kita takut dengan ketidakproduktifan. Kita diajarkan bahwa nilai kita ditentukan oleh seberapa banyak yang kita lakukan. Jika kita berhenti, jika kita beristirahat, kita merasa tidak berharga. Kita merasa seperti kita tidak berkontribusi. Dan rasa bersalah itu begitu kuat, sehingga kita lebih memilih untuk terus bergerak meskipun kita lelah. Aku butuh waktu lama untuk menyadari bahwa jeda tidak berarti tidak produktif. Jeda berarti produktif dalam cara yang berbeda. Itu berarti membiarkan diriku mengisi ulang energinya. Itu berarti membiarkan pikiranku beristirahat, sehingga ia bisa menemukan ide-ide baru. Itu berarti membiarkan jiwaku bernapas, sehingga ia bisa merasa hidup kembali.


Lalu, bagaimana caranya? Bagaimana caranya mempraktikkan jeda?

Aku belajar, jeda tidak harus berupa liburan panjang ke tempat yang jauh. Jeda bisa terjadi setiap saat. Itu bisa berupa jeda mikro. Hanya satu tarikan napas yang dalam dan perlahan. Di tengah-tengah percakapan yang sulit. Di tengah-tengah kekacauan. Hanya satu detik untuk kembali ke diriku. Itu bisa berupa jeda kecil. Lima menit menatap keluar jendela. Lima belas menit tanpa ponsel. Setengah jam mendengarkan musik tanpa melakukan hal lain. Hanya sebuah jeda kecil yang mengisi ruang kosong, yang mengembalikan napas dan kesadaran.

Dan itu bisa berupa jeda besar. Satu hari penuh tanpa rencana. Satu hari penuh tanpa tugas. Satu hari penuh untuk melakukan apa pun yang ingin kamu lakukan, atau tidak melakukan apa-apa sama sekali. Di dalam jeda-jeda itu, aku menemukan hal-hal yang tidak akan pernah kutemukan jika aku terus berlari. Aku menemukan ide-ide baru untuk menulis. Aku menemukan kebahagiaan dari hal-hal yang sederhana. Aku menemukan diriku.

Aku belajar bahwa aku bukan hanya apa yang aku lakukan. Aku adalah siapa aku di dalam keheningan. Aku adalah siapa aku saat aku tidak sibuk. Aku adalah siapa aku saat aku hanya bernapas. Dan itu adalah sebuah penemuan yang sangat membebaskan.

Jeda itu seperti sebuah ruang antara nada dalam musik. Sebuah lagu tidak akan terdengar indah jika tidak ada jeda di antara nada-nadanya. Jeda itu yang memberikan makna. Jeda itu yang memberikan keindahan.

Hidup kita juga begitu. Keindahan hidup kita tidak hanya ada di setiap pencapaian, di setiap langkah, di setiap kesibukan. Keindahan hidup kita juga ada di dalam keheningan, di dalam istirahat, di dalam jeda.

Aku masih terkadang merasa ingin berlari. Mesin itu masih berisik di kepalaku. Tapi sekarang, aku punya rem. Aku punya keberanian untuk menginjaknya. Aku punya kebijaksanaan untuk tahu kapan aku membutuhkannya. Dan setiap kali aku melakukannya, aku merasa seperti aku kembali ke diriku sendiri. Kembali ke rumah.

Jeda bukanlah akhir dari perjalanan. Jeda adalah bagian dari perjalanan itu sendiri. Jeda adalah sebuah pengingat bahwa kita tidak perlu terus berlari untuk sampai di tujuan. Kadang, kita hanya perlu berhenti, dan membiarkan tujuan itu datang kepada kita.

Posting Komentar