SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Bahasa Sunyi: Apa yang Tak Pernah Terucap, Tapi Selalu Tersimpan - Senandika #19

Ada bahasa yang tak pernah keluar dari bibir, tapi ia tinggal diam di dada. Bahasa sunyi, ruang kecil di antara hati dan pikiran, tempat aku menyimpan
Bahasa Sunyi: Apa yang Tak Pernah Terucap, Tapi Selalu Tersimpan - Senandika #19

Kadang aku suka heran sama diriku sendiri. Aku ini bisa ngobrol panjang lebar, bisa bercanda, bisa tertawa ngakak sama teman, bisa diskusi serius soal kerjaan, bisa ngomong ngalor-ngidul tentang mimpi masa depan. Tapi di tengah semua percakapan itu, ada bahasa lain yang lebih sering aku gunakan: bahasa sunyi. Bahasa yang nggak pernah benar-benar terucap, tapi selalu terasa di dalam.

Bahasa sunyi ini kayak ruang rahasia di dalam kepalaku, atau mungkin di dalam dada. Ruang di mana aku menyimpan semua hal yang nggak bisa aku sampaikan ke orang lain. Bukan karena orang lain nggak mau dengar, tapi karena aku sendiri nggak sanggup mengatakannya. Kadang aku takut salah paham, kadang aku takut dianggap lemah, kadang aku takut malah bikin orang menjauh. Jadi, ya sudahlah. Aku simpan saja.

Dan anehnya, semakin aku menyimpan, semakin penuh ruang itu. Kadang rasanya seperti ada kotak kecil di dalam dada, dan setiap kali aku menahan kata-kata, aku masukkan ke sana. Awalnya masih lega, masih bisa ditutup rapat. Tapi lama-lama kotak itu sesak. Isinya bukan cuma kata-kata, tapi juga rasa—rasa kecewa, rasa rindu, rasa marah, rasa bahagia yang terlalu besar, bahkan doa-doa yang terlalu malu untuk aku panjatkan lantang. Semua jadi bercampur jadi satu, jadi bahasa sunyi yang cuma aku sendiri yang bisa dengar.

Aku sering berpikir, kenapa sih kita punya begitu banyak hal yang nggak bisa diucapkan? Padahal mulut ini fungsinya buat ngomong. Tapi ternyata, ada yang lebih ribet dari sekadar bicara: keberanian untuk jujur. Dan jujur itu nggak selalu gampang. Kadang, untuk jujur sama orang lain, aku harus berani dulu jujur sama diri sendiri. Nah, bagian itu yang paling sulit.


Sunyi yang Akrab

Aku sudah terbiasa hidup dengan bahasa sunyi. Dia bukan sesuatu yang asing, malah rasanya kayak teman lama. Teman yang nggak pernah meninggalkan aku, selalu ada, selalu ikut kemana pun aku pergi. Sunyi menemaniku waktu aku lagi sendirian di kamar, waktu naik motor malam-malam pulang kerja, waktu rebahan sambil mandang langit-langit, bahkan waktu lagi di tengah keramaian tapi hati rasanya kosong.

Sunyi itu kayak musik tanpa suara. Dia tetap ada, tapi cuma bisa kurasakan. Kadang bikin tenang, kadang bikin sedih. Ada hari-hari di mana aku bersyukur punya bahasa sunyi, karena dengannya aku bisa menyembunyikan hal-hal yang terlalu rapuh buat dibagikan. Tapi ada hari lain di mana aku capek, karena bahasa sunyi ini malah bikin aku merasa terasing dari diriku sendiri.

Bayangkan saja, aku bisa tertawa bersama teman, tapi di dalam hati ada kalimat lain yang ingin keluar: “Aku capek.” Atau saat aku terlihat sibuk dengan pekerjaan, padahal bahasa sunyiku berbisik: “Aku kesepian.”

Dan yang paling sering, saat aku bilang, “Aku baik-baik saja.” Itu bukan bahasa asliku. Itu cuma terjemahan kasar dari bahasa sunyi yang sebenarnya bilang: “Aku hancur, tapi aku nggak tahu harus cerita ke siapa.”


Surat yang Tak Pernah Terkirim

Bahasa sunyi seringkali jadi surat-surat yang tak pernah terkirim. Surat itu aku tulis dalam kepala, lengkap dengan kata-kata, lengkap dengan perasaan. Kadang aku bahkan sudah membayangkan reaksi orang yang akan menerima surat itu. Tapi entah kenapa, selalu berhenti di sana. Nggak pernah benar-benar terkirim.

Misalnya, aku ingin bilang ke seseorang: “Aku kangen.” Tapi bahasa sunyi mengingatkanku bahwa kata itu bisa salah tafsir, bisa bikin salah paham, bisa bikin orang salah menaruh hati. Jadi aku simpan.

Atau aku ingin jujur ke keluarga soal rasa lelahku, soal tekanan yang aku rasakan. Tapi lagi-lagi, bahasa sunyi menahanku: “Nanti mereka malah ikut khawatir. Kamu harus kuat.” Jadi aku tahan.

Begitu seterusnya. Surat-surat itu menumpuk, memenuhi rak-rak tak terlihat di dalam diriku. Sampai-sampai, aku bertanya-tanya, apa suatu hari nanti aku akan meledak karena semua surat itu tak pernah menemukan tujuannya?


Diam yang Bicara

Lucunya, meskipun aku nggak pernah mengucapkan bahasa sunyiku, seringkali orang-orang di sekitarku bisa merasakannya. Entah lewat tatapan mata, entah lewat nada suaraku yang berubah, atau lewat keheningan yang terlalu panjang. Diam itu sendiri ternyata bisa jadi bahasa.

Aku pernah membaca, katanya 80% komunikasi manusia itu nonverbal. Artinya, bahkan tanpa berkata apa-apa, aku sudah berkomunikasi. Jadi mungkin selama ini, bahasa sunyiku tetap sampai, hanya saja dengan cara yang berbeda.

Mungkin orang bisa lihat dari cara aku menghela napas panjang, dari caraku pura-pura sibuk dengan ponsel padahal lagi menghindari percakapan, atau dari caraku tertawa terlalu keras untuk menutupi sesuatu. Itu semua adalah “kata-kata” dari bahasa sunyi.


Mengapa Aku Menyimpan?

Kalau dipikir-pikir, kenapa aku begitu rajin menyimpan bahasa sunyi? Jawaban paling jujur mungkin: takut. Aku takut ditolak, takut salah dimengerti, takut dianggap lemah. Ada rasa gengsi juga, seolah-olah aku harus selalu terlihat baik-baik saja.

Padahal aku tahu, menyimpan terlalu banyak bahasa sunyi bisa berbahaya. Dia bisa jadi racun yang menggerogoti perlahan dari dalam. Aku bisa terlihat normal di luar, tapi di dalamnya rapuh, penuh retakan yang tak terlihat.

Aku ingat pernah ada momen di mana aku akhirnya “bocor”—semua yang selama ini aku tahan, tiba-tiba keluar begitu saja. Rasanya campur aduk: lega karena akhirnya bisa keluar, tapi juga canggung karena aku nggak terbiasa membuka diri sejauh itu. Seperti air yang akhirnya jebol dari bendungan, mengalir tanpa bisa aku kontrol.


Belajar Mendengar Bahasa Sunyi

Aku sadar, aku mungkin nggak akan pernah bisa sepenuhnya berhenti menggunakan bahasa sunyi. Itu sudah jadi bagian dari diriku. Tapi setidaknya, aku bisa belajar untuk mendengarnya lebih baik.

Bahasa sunyi sebenarnya nggak selalu buruk. Kadang dia justru jadi bentuk perlindungan, semacam mekanisme alami untuk menjaga hati tetap utuh. Dengan bahasa sunyi, aku bisa memberi ruang pada diriku sendiri, tanpa harus tergesa membagikannya pada dunia.

Tapi ada saat-saat di mana bahasa sunyi perlu diterjemahkan. Entah lewat tulisan, lewat doa, lewat percakapan dengan orang yang benar-benar dipercaya. Karena bahasa sunyi, kalau dibiarkan terlalu lama, bisa berubah jadi beban.

Aku belajar pelan-pelan, bahwa nggak semua bahasa sunyi harus dibungkam. Ada yang memang lebih baik disampaikan, meskipun dengan cara sederhana. Kadang sekadar bilang, “Aku capek” sudah cukup. Kadang sekadar berkata, “Aku butuh teman cerita” bisa membuka jalan yang selama ini aku tutup rapat.


Sunyi yang Menyembuhkan

Di sisi lain, aku juga menemukan bahwa bahasa sunyi bisa jadi alat penyembuhan. Saat aku duduk sendirian dalam diam, aku bisa lebih jujur pada diri sendiri. Aku bisa mendengar suara hatiku yang biasanya tenggelam oleh kebisingan dunia.

Sunyi memberiku kesempatan untuk berhenti, merenung, dan memahami diriku lebih dalam. Dia seperti cermin, yang memantulkan hal-hal yang sering aku abaikan.

Mungkin inilah yang disebut orang sebagai meditasi, atau refleksi diri. Aku menyebutnya: berbicara dalam bahasa sunyi.

Dan jujur, ada keindahan dalam bahasa itu. Keindahan yang nggak bisa aku temukan dalam percakapan sehari-hari.


Menyimpan dan Melepaskan

Akhirnya, aku menyadari bahwa bahasa sunyi bukan sesuatu yang harus dilawan. Dia bagian dari perjalanan hidupku. Yang penting adalah belajar menyeimbangkan: kapan aku harus menyimpan, kapan aku harus melepaskan.

Kalau semua aku simpan, aku bisa sesak. Kalau semua aku lepaskan, aku bisa telanjang tanpa perlindungan. Jadi kuncinya ada di tengah-tengah.

Bahasa sunyi akan selalu ada, tapi aku tak harus jadi tawanan. Aku bisa memilih, kapan aku mau menerjemahkannya, kapan aku mau menuliskannya, kapan aku mau mendoakannya.

Dan mungkin, dengan begitu, bahasa sunyi bukan lagi jadi beban. Dia bisa jadi sahabat.


Hari ini, saat aku menulis ini, aku sadar bahwa tulisan ini sendiri adalah terjemahan dari bahasa sunyiku. Apa yang tadinya cuma diam di dada, akhirnya menemukan jalan keluar lewat kata-kata.

Bahasa sunyi memang tak pernah benar-benar hilang. Dia akan selalu tersimpan, menunggu waktu yang tepat untuk muncul. Tapi aku belajar, bahwa selama aku punya keberanian untuk menerjemahkannya—entah lewat tulisan, entah lewat percakapan jujur—maka aku nggak akan tenggelam di dalamnya.

Bahasa sunyi bukan musuh. Dia hanyalah cara lain bagi hatiku untuk bicara.

Posting Komentar