SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Bayangan yang Tak Pernah Pergi: Berdamai dengan Masa Lalu - Senandika #24

Aku belajar bahwa masa lalu tidak selalu bisa dihapus, tapi bisa diajak berdamai. Inilah kisahku tentang menerima luka lama tanpa lagi membiarkannya..
Bayangan yang Tak Pernah Pergi: Berdamai dengan Masa Lalu - Senandika #24

Kadang aku merasa, masa lalu itu seperti bayangan yang selalu menempel ke tubuhku. Mau lari sejauh apapun, mau pindah ke kota lain, bahkan mau sembunyi di balik selimut pun, ia tetap ada. Bedanya cuma satu: kadang bayangan itu terasa samar, kadang terasa jelas sekali, sampai aku bisa mendengar kembali suara-suara lama yang seharusnya sudah terkubur.

Aku sempat berpikir, mungkin aku bisa benar-benar melupakan masa lalu. Kau tahu kan, orang-orang sering bilang, “Sudahlah, lupakan saja.” Seakan-akan ada tombol “delete” di kepala ini yang bisa menghapus semua ingatan buruk. Sayangnya, hidup tidak sesederhana itu. Aku pernah mencoba mengabaikan, menolak mengingat, pura-pura sibuk, bahkan membanjiri hari-hariku dengan aktivitas baru hanya supaya masa lalu itu tidak sempat mampir. Tapi anehnya, semakin kutolak, semakin kuat ia mengetuk pintu pikiranku.

Pernah suatu malam, aku sedang duduk tenang, niatnya ingin menonton film komedi biar hati ringan. Eh, tiba-tiba, ada satu adegan yang memicu ingatan lama. Rasanya seperti ada benjolan di tenggorokan, sesak, padahal aku lagi nonton hal yang seharusnya lucu. Dari situ aku sadar: ternyata aku belum selesai dengan diriku sendiri.

Berdamai dengan masa lalu itu ternyata bukan soal melupakan, tapi soal menerima. Menerima bahwa hal-hal itu memang pernah terjadi. Menerima bahwa aku pernah salah, pernah terluka, pernah dikhianati, pernah juga mengecewakan orang lain. Aku tidak bisa pura-pura semua itu tidak ada, karena toh ia sudah jadi bagian dari ceritaku. Kalau aku menolaknya, sama saja aku menolak diriku sendiri.

Aku masih ingat jelas, ada masa ketika aku begitu marah pada diriku di masa lalu. Aku sering bertanya, “Kenapa sih aku harus begini dulu? Kenapa aku tidak lebih pintar mengambil keputusan? Kenapa aku percaya sama orang yang salah?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar, membuatku lelah sendiri. Sampai suatu ketika aku sadar: aku yang dulu tidak punya pengetahuan dan pengalaman seperti aku yang sekarang. Kalau aku bisa kembali ke masa lalu, mungkin aku akan tetap melakukan hal yang sama, karena memang saat itu itulah versi terbaik yang aku tahu.

Jadi, perlahan-lahan, aku belajar menaruh belas kasih pada diriku di masa lalu. Alih-alih menghakimi, aku mencoba berkata, “Aku mengerti kenapa kamu melakukan itu. Aku tahu kamu sedang berusaha sekuat tenaga. Tidak apa-apa kalau kamu jatuh, karena dari situ kamu belajar.” Aku tidak bilang prosesnya mudah. Bahkan awalnya terasa aneh bicara begitu pada diri sendiri. Tapi entah bagaimana, semakin sering kulakukan, semakin ringan rasanya beban itu.

Masa lalu tidak lagi menjadi monster yang menakutkan. Ia tetap ada, tapi sekarang lebih seperti guru yang tegas. Kadang aku tidak suka pelajarannya, tapi aku tahu ada nilai yang bisa kupetik.

Aku juga belajar bahwa berdamai dengan masa lalu berarti berdamai dengan orang-orang di dalamnya. Ada orang-orang yang melukaiku, ada yang mengkhianati kepercayaanku, ada yang pergi begitu saja tanpa pamit. Dulu aku sering berpikir, “Kalau saja mereka tidak melakukan itu, mungkin aku akan lebih bahagia sekarang.” Tapi pikiran semacam itu hanya membuatku terus terjebak. Aku menunggu permintaan maaf yang tidak pernah datang, berharap ada penjelasan yang mungkin tidak akan pernah kuberi.

Akhirnya aku memutuskan: aku bisa memberi maaf, bahkan kalau mereka tidak meminta. Aku bisa melepaskan, meski mereka tidak kembali. Karena memaafkan ternyata bukan tentang orang lain, tapi tentang aku sendiri. Tentang bagaimana aku memilih untuk tidak lagi membawa racun itu di dalam hatiku.

Ada satu momen yang sampai sekarang masih kuingat, titik kecil tapi sangat berarti. Aku sedang berjalan pulang setelah hujan. Jalanan basah, lampu jalan memantul di genangan air. Entah kenapa, malam itu aku merasa tenang sekali. Aku berhenti, menatap refleksiku di air, dan aku tersenyum. Rasanya seperti aku baru saja berdamai dengan seseorang yang sudah lama kutunggu. Ternyata orang itu adalah diriku sendiri.

Sejak saat itu, aku mulai menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Aku tidak lagi mengutuk masa lalu. Aku tidak lagi sibuk mencari alasan atau kambing hitam. Aku memilih melihat semuanya sebagai bagian dari perjalanan. Dan lucunya, ketika aku berhenti melawan, bayangan itu tidak lagi terasa menakutkan. Ia tetap ada, tapi lebih seperti teman lama yang sesekali menepuk bahuku, mengingatkan bahwa aku sudah jauh melangkah dari sana.

Tentu saja, ada hari-hari ketika aku masih tergelincir. Ada malam ketika kenangan itu datang begitu nyata, membuatku kembali menangis. Tapi kali ini aku tidak menganggapnya sebagai kegagalan. Aku tahu itu bagian dari proses penyembuhan. Tidak ada yang instan, apalagi untuk hati yang pernah pecah. Perlahan-lahan, potongan itu mulai menyatu lagi, meski bentuknya tidak sama seperti dulu. Dan itu tidak apa-apa. Justru di situ indahnya: aku tidak lagi sama, tapi aku lebih kuat.

Sekarang, ketika aku menatap ke depan, aku tidak merasa lagi ditahan oleh masa lalu. Aku tahu bayangan itu akan selalu ada, tapi aku sudah belajar menari bersamanya. Aku sudah belajar menaruh damai di dalam dada, bahkan ketika ingatan lama datang tanpa permisi. Aku sudah belajar bahwa hidup bukan soal menghapus, tapi soal menerima dan melangkah.

Dan mungkin, kalau ada yang bertanya padaku apa arti berdamai dengan masa lalu, aku akan bilang: itu ketika aku bisa menoleh ke belakang tanpa lagi ingin lari, tapi juga tanpa ingin terjebak di sana. Itu ketika aku bisa tersenyum pada diriku yang dulu, dan berkata, “Terima kasih sudah bertahan, sekarang aku akan melanjutkan langkahmu.”

Posting Komentar