Ada satu kalimat yang pernah mampir ke telingaku waktu sedang rebahan: “Kalau kamu bisa merelakan, itu tandanya kamu sudah menang atas dirimu sendiri.” Entah siapa yang bilang, mungkin aku dengar dari podcast atau mungkin cuma suara batin yang lagi sok bijak. Tapi yang jelas, kalimat itu nyantol sampai sekarang.
Soalnya, di kepalaku dulu, merelakan itu identik dengan kalah. Dengan menyerah. Dengan tanda “ya udah deh, kamu menang, aku ngalah.” Padahal ternyata, semakin sering aku ngalamin jatuh–bangun dalam hidup, semakin paham kalau merelakan itu bukan soal siapa menang siapa kalah, tapi soal berapa berat beban yang sanggup aku taruh dan nggak aku gendong lagi.
Tentang Keinginan yang Nggak Selalu Jadi Nyata
Kalau aku tarik mundur ke masa lalu, aku pernah jadi orang yang sangat keras kepala. Pengen sesuatu, harus dapat. Mau ini, harus kejadian. Kalau nggak, rasanya dunia kiamat.
Waktu SMA, aku pernah jatuh cinta sama seseorang. Ya, jatuh cinta ala-ala remaja: senyum-senyum sendiri kalau lihat namanya muncul di layar HP, deg-degan kalau lagi ngobrol, dan merasa dunia ini penuh warna pastel. Tapi, ya namanya juga hidup, cintaku bertepuk sebelah tangan. Dia suka sama orang lain.
Dulu aku pikir, “Nggak, aku harus perjuangin. Aku harus bisa bikin dia lihat kalau aku ini worth it.” Jadi aku berusaha keras, dengan segala cara yang kalau dipikir lagi sekarang malah cringe. Sampai suatu titik aku sadar, semakin aku maksa, semakin sakit juga rasanya. Dan akhirnya aku belajar—walaupun dengan air mata—untuk merelakan.
Merelakan bukan berarti aku kalah dari orang yang dia pilih. Merelakan justru bikin aku menang, karena aku berhenti menyiksa diriku sendiri.
Melepaskan Itu Sama dengan Menyembuhkan
Ada yang pernah bilang kalau merelakan itu kayak membuka genggaman. Bayangin tangan kita lagi menggenggam pasir. Semakin kita genggam erat, semakin banyak pasir yang jatuh keluar. Tapi kalau kita buka telapak tangan, pasir itu bisa diam di sana, dan kalau pun ada yang jatuh, ya sudah, itu bagian dari proses.
Merelakan itu nyembuhin. Dari kecewa, dari luka, dari rasa marah yang nggak ada ujungnya. Aku pernah menyimpan dendam lama sekali, berharap suatu hari orang yang bikin aku sakit hati bakal ngerasain hal yang sama. Tapi apa yang terjadi? Orang itu hidupnya santai, kayak nggak ada beban. Sementara aku? Malah remuk sendiri karena tiap hari muter ulang rasa sakit itu di kepala.
Baru setelah aku belajar merelakan, luka itu mulai pelan-pelan sembuh. Rasanya kayak habis cabut duri kecil yang selama ini nyelip di kulit. Perih sedikit, tapi lega banget.
Merelakan di Dunia Kerja
Nggak cuma soal cinta atau pertemanan, dunia kerja juga banyak ngajarin aku tentang merelakan. Misalnya, pernah nggak kamu ngerasa udah kerja keras banget, udah kasih yang terbaik, tapi hasilnya nggak sesuai harapan?
Aku pernah. Waktu itu aku ngincer promosi jabatan. Semua syarat sudah kupenuhi, semua kerjaan kusikat, bahkan sering lembur sampai lupa kalau punya kasur. Aku pikir, “Wah, kali ini pasti aku yang kepilih.” Ternyata? Orang lain yang dapat.
Sakitnya jangan ditanya. Aku sampai mempertanyakan, “Kenapa bukan aku? Padahal aku lebih rajin, lebih serius.” Tapi setelah kupikir-pikir, apa aku mau terus-terusan tenggelam dalam rasa kecewa? Nggak. Jadi aku belajar merelakan. Dan dari situ, aku sadar, promosi itu bukan akhir dari segalanya. Aku masih punya jalan lain, peluang lain.
Kadang, merelakan dalam dunia kerja justru bikin aku jadi lebih fokus sama hal-hal yang memang bisa aku kontrol.
Merelakan dan Humor Tipis ala Kehidupan
Aku pernah baca meme gini: “Kalau kamu susah merelakan, coba ingat: Indomie rasa rendang aja akhirnya harus direlakan jadi edisi terbatas.”
Lucu, tapi kena. Hidup ini memang penuh hal-hal yang datang sebentar, bikin bahagia, lalu pergi. Kalau kita bisa belajar merelakan bahkan hal-hal kecil (kayak Indomie edisi spesial yang nggak balik-balik), mungkin kita juga bisa lebih ringan merelakan hal-hal besar.
Menang Bukan Karena Menguasai, Tapi Karena Melepaskan
Ada semacam ego dalam diri manusia yang bilang: kalau kita bisa mempertahankan sesuatu, berarti kita hebat. Tapi kalau kita harus melepaskan, berarti kita kalah. Padahal, aku mulai paham kalau justru sebaliknya.
Merelakan itu tanda kalau kita cukup kuat untuk nggak lagi terikat pada sesuatu yang bikin kita berat. Kita cukup dewasa untuk bilang: “Oke, ini bukan jalanku, dan aku baik-baik saja dengan itu.”
Menang sejati itu bukan soal menguasai, tapi soal bisa melangkah lebih ringan tanpa harus terus-terusan menoleh ke belakang.
Pelajaran dari Orang-Orang yang Bisa Merelakan
Aku banyak belajar dari orang-orang di sekitarku. Ada temanku yang harus kehilangan ayahnya saat masih kuliah. Aku kira dia bakal hancur banget, tapi ternyata dia bisa bangkit dengan cara merelakan. Dia cerita, awalnya memang sakit sekali, tapi lama-lama dia sadar, ayahnya sudah tenang, dan yang bisa dia lakukan sekarang adalah hidup dengan sebaik-baiknya sebagai bentuk penghormatan.
Dari situ aku makin yakin, merelakan bukan berarti kita melupakan. Kita tetap bisa menyimpan kenangan, tapi tanpa harus menyiksa diri dengan “seandainya.”
Merelakan Bukan Pasrah Buta
Ada satu hal penting: merelakan itu beda dengan pasrah. Kalau pasrah itu kita duduk diam sambil ngomong, “Ya udah deh, terserah takdir.” Tapi merelakan itu lebih aktif: kita sadar ini bukan yang terbaik buat kita, lalu kita memilih untuk melepaskannya dengan hati yang ikhlas.
Bedanya tipis, tapi dampaknya besar.
Merelakan Adalah Hadiah untuk Diri Sendiri
Pada akhirnya, aku belajar bahwa merelakan bukan berarti kalah. Merelakan adalah cara kita berdamai dengan kenyataan, cara kita menyembuhkan luka, dan cara kita memenangkan diri sendiri dari rasa sakit yang nggak ada habisnya.
Merelakan bukan berarti kita lemah, justru itu tanda kalau kita sudah cukup kuat untuk berkata: “Aku baik-baik saja tanpa ini.”
Dan jujur aja, setelah beberapa kali belajar merelakan, aku sadar hidup jadi lebih ringan. Lebih lapang. Kayak beban besar yang akhirnya diturunkan.
Jadi kalau kamu sekarang lagi susah untuk merelakan sesuatu—entah itu orang, pekerjaan, impian, atau sekadar kenangan—ingatlah: kamu bukan kalah, kamu justru sedang belajar jadi pemenang sejati.



Posting Komentar