SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Bukan Salahmu, Bukan Salahku: Memaafkan Orang Lain - Senandika #12

Aku pelan-pelan belajar, memaafkan orang lain bukan soal mereka, tapi soal aku bisa hidup lebih ringan tanpa beban masa lalu.
Bukan Salahmu, Bukan Salahku: Memaafkan Orang Lain - Senandika #12

Ada masa ketika aku merasa hidupku berat sekali, padahal secara kasat mata semua terlihat baik-baik saja. Aku tetap kerja, tetap nongkrong, tetap bercanda di antara teman-teman. Tapi jauh di dalam, ada satu ruang di dadaku yang penuh sesak oleh kemarahan yang tak kunjung reda. Aku sadar, aku sedang memelihara luka.

Lucunya, luka itu bukan selalu soal hal besar. Kadang hanya kata-kata yang terucap tergesa, sikap dingin yang membuatku merasa tidak berarti, atau janji kecil yang dikhianati. Tapi anehnya, hal-hal kecil itu justru menempel paling lama di kepala. Mereka terus berputar seperti rekaman rusak, tak pernah selesai.

Aku ingat satu momen jelas sekali. Seseorang yang sangat dekat denganku, dengan entengnya bicara hal yang menusuk. Waktu itu aku hanya diam, menelan bulat-bulat, tapi malamnya aku menangis. Besoknya aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa, tapi sebenarnya aku menyimpan bara kecil. Bara itu tidak padam. Semakin aku pura-pura lupa, semakin besar api yang membakar dari dalam.

Sampai suatu hari aku bertanya pada diriku: apa gunanya aku marah terus? Apa aku lebih bahagia dengan terus mengulang-ulang adegan itu di kepalaku? Jujur saja, tidak. Yang ada justru aku kelelahan. Aku menguras energi untuk menjaga dendam, padahal orang yang membuatku marah mungkin sudah lupa, atau bahkan tidak sadar kalau ucapannya pernah melukai.

Dan di titik itu aku mulai mengerti: memaafkan bukan tentang mereka. Ini tentang aku. Tentang bagaimana aku ingin menjalani hidupku tanpa membawa beban yang bukan lagi milikku.


Awalnya aku pikir memaafkan itu artinya aku harus melupakan semuanya. Ternyata tidak. Melupakan hampir mustahil, karena otak kita memang menyimpan memori dengan sangat rapi. Luka akan tetap ada bekasnya. Yang berubah adalah bagaimana aku memutuskan memperlakukan bekas itu. Apakah aku terus menggaruknya sampai berdarah lagi, atau kubiarkan ia jadi bagian dari sejarah tubuhku, tanpa lagi menyakitkan.

Memang butuh waktu lama untuk sampai di sana. Ada hari-hari di mana aku merasa sudah lega, tapi tiba-tiba muncul pemicu kecil: sebuah kalimat, sebuah tempat, sebuah nada suara—dan semuanya terasa segar kembali. Aku jadi kesal pada diriku sendiri. “Katanya sudah memaafkan, kok masih sakit?”

Tapi lama-lama aku belajar lebih sabar pada diriku. Rupanya proses memaafkan itu seperti latihan otot. Tidak sekali jadi, tapi berulang-ulang. Setiap kali rasa sakit datang, aku mengingatkan diriku, “Tidak apa-apa, kamu sedang belajar.” Dan pelan-pelan, aku benar-benar jadi lebih ringan.


Ada satu hal yang membuatku makin yakin: setiap orang membawa lukanya sendiri. Kadang mereka melukai bukan karena jahat, tapi karena tidak tahu cara lain. Ada yang tumbuh dengan luka masa kecil, ada yang hidup dengan tekanan besar, ada yang tidak pernah diajarkan cara mencintai. Semua itu bisa membuat seseorang menyakiti orang lain tanpa sadar.

Bukan berarti aku membenarkan perbuatan mereka. Tapi dengan melihat mereka sebagai manusia biasa yang juga rapuh, aku jadi lebih mudah menerima kenyataan. Kalau aku saja bisa salah, kenapa aku berharap mereka selalu benar?

Di situlah letak memaafkan. Bukan berarti aku membiarkan orang itu masuk lagi dan mengulang kesalahan yang sama. Bukan berarti aku membuka pagar rumahku untuk orang yang jelas-jelas merusak. Tapi aku berhenti membawa mereka kemana-mana di dalam kepalaku. Aku memilih menjaga batas sehat, sekaligus menjaga hatiku sendiri agar tidak penuh dengan amarah.


Aku masih ingat, saat pertama kali aku benar-benar merasa bebas setelah memaafkan. Rasanya seperti meletakkan tas ransel yang selama ini kupikul tanpa kusadari. Aku bisa berjalan lebih ringan, lebih lapang. Tidak lagi ada bayangan orang itu mengganggu tiap langkah.

Aku tidak bilang ini mudah. Kadang aku masih tergoda untuk mengulang-ulang luka itu. Tapi sekarang aku tahu cara menghentikannya: dengan mengingat bahwa aku berhak hidup tanpa beban yang tidak perlu.

Pada akhirnya, aku sadar: bukan salahmu sepenuhnya, bukan salahku juga sepenuhnya. Hidup memang penuh benturan, dan kita semua sama-sama belajar. Yang terpenting, aku memilih untuk tidak lagi menjadi tahanan di penjara yang kubuat sendiri dari luka itu.

Memaafkan orang lain ternyata adalah cara paling tulus untuk memerdekakan diriku sendiri.

Posting Komentar