Aku berdiri di sini, di dapurku yang berantakan, dan aku merasa kosong. Aku baru saja menghabiskan sisa tenagaku untuk memastikan semua orang di sekitarku merasa baik. Aku mendengarkan masalah seorang teman, aku membantu seorang anggota keluarga, aku memastikan rekan kerjaku tidak merasa terbebani. Dan sekarang, aku merasa sangat lelah. Tangki energiku kosong, dan aku tidak punya apa pun lagi untuk diberikan.
Pernahkah kamu merasakannya? Rasa bangga yang aneh saat kamu mengutamakan orang lain, meskipun itu berarti mengorbankan dirimu sendiri? Kita diajarkan sejak kecil bahwa itu adalah hal yang benar. Kita diajarkan bahwa cinta sejati adalah pengorbanan. Dan kita diajarkan bahwa mencintai diri sendiri, atau bahkan memikirkan diri sendiri, adalah sebuah keegoisan.
Aku dulu percaya itu. Aku dulu berpikir, jika aku mulai memikirkan diriku sendiri, aku akan menjadi orang yang egois, yang tidak peduli pada orang lain. Jadi aku terus mengabaikan diriku. Aku mengabaikan rasa lelah. Aku mengabaikan rasa sakit. Aku mengabaikan batasan. Aku terus menuangkan isi cangkirku untuk orang lain, tanpa pernah memikirkan untuk mengisinya kembali.
Dan pada akhirnya, aku kehabisan. Aku tidak punya lagi hal untuk diberikan. Aku menjadi orang yang mudah marah, yang mudah tersinggung, dan yang dipenuhi dengan kebencian tersembunyi. Aku membenci orang-orang yang terus meminta, dan aku membenci diriku sendiri karena tidak bisa mengatakan 'tidak'.
Aku menyadari, itu adalah sebuah lingkaran setan. Semakin aku mengabaikan diriku, semakin aku tidak punya apa-apa untuk diberikan. Dan semakin sedikit yang aku miliki, semakin aku merasa gagal sebagai manusia.
Dan di situlah aku akhirnya menyadari sebuah kebenaran yang sangat sederhana, tapi begitu sulit untuk diterima: mencintai diri sendiri bukanlah keegoisan. Itu adalah sebuah kebutuhan dasar.
Aku mulai melihat belas kasih pada diri sendiri bukan sebagai kemewahan, tapi sebagai fondasi. Fondasi yang tanpanya, bangunan yang kita sebut hidup ini akan runtuh.
Aku memikirkan tentang mengapa kita begitu takut untuk mencintai diri sendiri. Aku menyadari, kita seringkali salah mengartikannya. Kita berpikir, mencintai diri sendiri berarti narsisme. Berarti sombong. Berarti menganggap diri lebih baik dari orang lain.
Tapi itu tidak benar. Mencintai diri sendiri adalah tentang menerima. Menerima diriku dengan segala kekurangan, segala bekas luka, segala kesalahan. Itu adalah tentang melihat diriku sebagai manusia yang utuh, dengan kelemahan dan kekuatannya. Sama seperti aku melihat orang lain.
Mencintai diri sendiri juga bukan tentang tidak pernah merasa sakit. Itu tentang merasakan rasa sakit itu, dan merawat diriku dengan kebaikan, alih-alih dengan penghakiman.
Aku belajar bahwa aku tidak bisa menuangkan dari cangkir yang kosong. Dan itu adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa disangkal. Jika aku ingin membantu orang lain, jika aku ingin menjadi orang yang baik, jika aku ingin menjadi orang yang penuh kasih, aku harus terlebih dahulu mengurus diriku sendiri.
Aku tidak bisa memberikan cinta jika aku tidak punya cinta di dalam diriku. Aku tidak bisa memberikan belas kasih jika aku tidak tahu bagaimana memberikan belas kasih pada diriku sendiri.
Lalu, bagaimana caranya? Bagaimana caranya mempraktikkan cinta yang paling sulit ini?
Aku belajar, itu dimulai dengan hal-hal kecil.
Pertama, aku belajar untuk mendengarkan. Aku berhenti mengabaikan sinyal-sinyal dari tubuhku dan pikiranku. Saat aku merasa lelah, aku tidak lagi memaksakan diri. Aku berhenti. Saat aku merasa sedih, aku tidak lagi berpura-pura baik-baik saja. Aku memberanikan diri untuk merasakannya.
Kedua, aku belajar untuk mengucapkan 'tidak'. Aku belajar untuk menghormati batasanku. Ini adalah hal yang paling sulit. Aku merasa bersalah setiap kali aku menolak permintaan seseorang. Tapi aku belajar, bahwa 'tidak' yang diucapkan dengan tulus adalah sebuah 'ya' untuk diriku sendiri. Itu adalah sebuah tindakan cinta yang tulus, yang memungkinkan aku memiliki energi untuk berkata 'ya' pada hal-hal yang benar-benar penting.
Ketiga, aku belajar untuk memberikan diriku hadiah-hadiah kecil. Hadiah-hadiah yang tidak harus mahal. Sebuah teh hangat di sore hari. Lima belas menit membaca buku tanpa gangguan. Sebuah pelukan hangat dari diri sendiri. Hal-hal kecil ini adalah pengingat bahwa aku berharga. Aku pantas mendapatkan kebaikan, bahkan dari diriku sendiri.
Keempat, aku belajar untuk melepaskan rasa bersalah. Aku belajar untuk tidak lagi merasa bersalah saat aku melakukan sesuatu untuk diriku. Aku tidak perlu membenarkan diri. Aku tidak perlu menjelaskan. Aku hanya perlu melakukannya. Karena itu adalah hakku sebagai seorang manusia.
Ini adalah sebuah perjalanan. Sebuah proses yang tidak akan pernah selesai. Ada hari-hari di mana aku akan jatuh. Ada hari-hari di mana aku akan kembali ke kebiasaan lama. Ada hari-hari di mana rasa bersalah itu akan datang lagi. Tapi sekarang, aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku tidak akan menghukum diriku. Aku akan memaafkan diriku. Dan aku akan kembali ke jalanku. Jalan di mana aku merawat diriku, bukan karena aku ingin menjadi egois, tapi karena itu adalah sebuah kebutuhan.
Aku menyadari, mencintai diri sendiri bukan berarti kita tidak akan pernah sedih, atau tidak akan pernah lelah. Itu berarti saat kita sedih, saat kita lelah, kita akan berada di sana untuk diri kita sendiri. Dengan belas kasih. Dengan kebaikan. Dengan cinta.
Dan itu, adalah sebuah kekuatan yang luar biasa. Sebuah kekuatan yang akan memungkinkan kita untuk mencintai orang lain, bukan dari kekurangan, tapi dari kelimpahan.



Posting Komentar