Aku duduk di sini, dan aku memikirkan tentang cinta. Bukan cinta pada pasangan, bukan cinta pada keluarga, tapi cinta pada diriku sendiri. Dan aku menyadari, itu adalah cinta yang paling sulit dari semuanya.
Pernahkah kamu merasakannya? Aku melihat seorang temanku membuat kesalahan yang memalukan. Dia menangis. Dia merasa gagal. Aku langsung memeluknya. Aku mengatakan padanya, "Tidak apa-apa. Kamu manusia. Semua orang juga pernah berbuat salah." Aku berbicara padanya dengan penuh belas kasih. Tidak ada sedikit pun niat untuk menghakimi. Aku hanya ingin dia merasa lebih baik.
Tapi, saat aku sendiri yang melakukan kesalahan yang sama, aku menjadi hakim yang paling kejam. "Kamu bodoh. Kamu seharusnya sudah tahu lebih baik. Lihat apa yang kamu lakukan." Aku berbicara pada diriku dengan nada yang tidak pernah akan kuucapkan pada orang yang paling ku benci sekalipun. Aku menampar diriku dengan kata-kata, menghukum diriku dengan rasa malu. Dan aku bertanya pada diriku, "Kenapa? Kenapa kamu begitu baik pada orang lain, tapi begitu kejam pada dirimu sendiri?"
Aku dulu berpikir, menjadi keras pada diri sendiri adalah hal yang baik. Itu adalah motivasi. Itu adalah cara untuk memastikan aku tidak mengulangi kesalahan. Itu adalah cara untuk menjadi lebih baik. Tapi aku salah. Aku sangat salah.
Aku tidak pernah melihat seorang anak yang belajar berjalan dengan dilempari makian setiap kali dia jatuh. Sebaliknya, orang tuanya akan memeluknya, menyemangatinya, dan mengatakan, "Tidak apa-apa, Nak. Ayo coba lagi." Mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama pada diri kita sendiri?
Belas kasih untuk diri sendiri bukanlah kelemahan. Itu adalah sebuah kekuatan. Itu adalah cinta yang paling sulit, karena itu adalah cinta yang paling tidak kita percayai bahwa kita pantas mendapatkannya.
Aku mulai melihat ada sebuah suara di dalam diriku. Sebuah suara yang selalu menuntut kesempurnaan. Suara itu adalah seorang kritikus yang tidak pernah puas. Ia adalah warisan dari masa lalu, dari masa di mana aku diajarkan bahwa nilai diriku ditentukan oleh seberapa baik aku melakukan sesuatu.
Suara ini mengatakan bahwa jika aku tidak menuntut yang terbaik, aku akan menjadi malas, tidak termotivasi, dan tidak akan mencapai apa pun. Suara ini membuatku takut. Membuatku terus berlari.
Tapi aku menyadari, yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya. Setiap kali aku jatuh, kritikus itu menamparku, membuatku merasa begitu buruk, sehingga aku tidak lagi berani mencoba. Ia membuatku lumpuh. Ia membuatku tidak punya keinginan untuk bangkit.
Lalu, aku mulai mencari tahu, apa itu belas kasih untuk diri sendiri. Dan aku menemukan ada tiga pilar utamanya.
Yang pertama adalah kesadaran diri. Aku harus berhenti berpura-pura tidak sakit. Saat aku membuat kesalahan, saat aku merasa sedih, aku harus berhenti mengatakan, "Ah, ini tidak penting." Aku harus berani melihat rasa sakit itu. "Ada rasa sakit di sini," aku berkata pada diriku. "Ada rasa malu di sini." Aku tidak menghakimi, aku tidak mengomentari. Aku hanya mengamatinya. Seperti melihat seorang teman yang sedang sedih.
Yang kedua adalah kesadaran akan kemanusiaan kita bersama. Aku sering merasa sendirian dalam penderitaan. Aku berpikir aku adalah satu-satunya yang begitu bodoh, yang begitu bodoh membuat kesalahan. Tapi itu tidak benar. Semua manusia juga jatuh. Semua manusia juga membuat kesalahan. Rasa sakit yang aku rasakan, rasa malu yang aku rasakan, bukanlah bukti kegagalan. Itu adalah bukti bahwa aku adalah seorang manusia. Dan kesadaran itu, rasanya seperti sebuah pelukan dari seluruh umat manusia. Aku tidak sendirian.
Yang ketiga adalah keberanian untuk bersikap baik pada diri sendiri. Ini adalah bagian yang paling sulit. Ini adalah saat aku harus mengubah kata-kata di kepalaku. Saat aku jatuh, alih-alih berkata "Kamu bodoh," aku harus berkata, "Aku tahu ini menyakitkan. Tidak apa-apa. Aku ada di sini untukmu."
Aku duduk di sini, dan aku membayangkan diriku sedang berbicara pada diriku yang sedih. Aku menaruh tanganku di dadaku, di tempat di mana rasa sakit itu terasa. Dan aku berbicara padanya dengan nada yang penuh belas kasih.
Aku berkata, "Aku tahu kamu merasa sedih. Aku tahu kamu merasa tidak cukup. Aku tahu kamu merasa ingin menyerah. Tapi aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Aku mencintaimu meskipun kamu membuat kesalahan. Aku mencintaimu meskipun kamu tidak sempurna. Aku mencintaimu apa adanya."
Dan aku membiarkan kata-kata itu meresap. Rasanya seperti sebuah sungai es di dalam diriku mulai mencair. Rasa sakit itu tidak hilang. Tapi ia tidak lagi membeku. Ia berubah menjadi sesuatu yang bisa kupegang, yang bisa kurawat, dan yang bisa kusembuhkan.
Belas kasih untuk diri sendiri bukan berarti tidak ada lagi rasa sakit. Belas kasih untuk diri sendiri berarti kita bisa merasakan rasa sakit itu, dan kita bisa menghadapinya dengan kebaikan, dengan kelembutan, bukan dengan kekejaman.
Ini adalah sebuah perjalanan. Sebuah babak yang tidak akan pernah berakhir. Ada hari-hari di mana aku akan kembali ke kebiasaan lama. Ada hari-hari di mana kritikus di dalam diriku akan berteriak lagi. Tapi sekarang, aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku tahu bagaimana cara membalasnya.
Aku akan berkata, "Terima kasih atas kekhawatiranmu, tapi aku tidak butuh kritikanmu. Aku butuh belas kasihku."
Dan dengan itu, aku akan terus mencoba. Aku akan terus jatuh. Dan aku akan terus bangkit kembali, dengan cinta yang paling sulit dari semuanya. Cinta yang paling kuat. Cinta yang paling sejati. Cinta yang datang dari dalam.



Posting Komentar