Aku sering merasa seperti aktor di atas panggung, memainkan peran yang berbeda-beda sesuai siapa penontonnya. Di kantor aku jadi orang yang serius, di rumah aku berusaha jadi anak yang baik, di tongkrongan aku berusaha jadi teman yang asik, dan di media sosial… ah, itu mungkin panggung paling absurd. Aku bisa tampil ceria, penuh tawa, seolah hidupku baik-baik saja, padahal di balik layar aku bisa saja lagi hancur.
Topeng itu melekat begitu lama sampai-sampai kadang aku lupa: wajah asliku yang mana? Apakah aku benar-benar orang yang suka bercanda? Apakah aku benar-benar orang yang kuat menghadapi masalah? Atau semua itu cuma bagian dari topeng yang aku pakai supaya orang lain nyaman berada di sekitarku?
Topeng itu awalnya kupakai untuk melindungi diri. Aku pikir dengan menutupi rapuhku, aku bisa lebih aman. Dunia ini kejam, pikirku. Kalau aku terlalu jujur tentang sakitku, orang bisa meninggalkan. Kalau aku terlalu terbuka tentang ketakutanku, orang bisa meremehkan. Jadi lebih baik aku tampil tegar, tersenyum, dan bilang: “Aku baik-baik saja.”
Tapi masalahnya, topeng itu bukan cuma melindungiku dari orang lain. Dia juga melindungiku dari diriku sendiri. Aku jadi terbiasa menekan hal-hal yang sebenarnya ingin keluar. Aku terbiasa bilang “nggak apa-apa” padahal jelas-jelas ada yang salah. Aku terbiasa pura-pura kuat, sampai-sampai aku sendiri nggak tahu rasanya lemah itu seperti apa.
Hidup dengan Dua Diri
Pernah suatu kali aku bercermin lama-lama. Aku perhatikan wajahku, ekspresiku. Dan aku sadar, di depan cermin pun aku masih pakai topeng. Aku senyum kecil, seolah meyakinkan diri, “Kamu baik-baik saja, kan?” Padahal hatiku ingin bilang, “Nggak. Aku nggak baik-baik saja.”
Rasanya aneh, hidup dengan dua diri. Satu diri yang aku tampilkan keluar, satu lagi yang aku sembunyikan rapat-rapat. Dua-duanya adalah aku, tapi rasanya seperti dua orang yang berbeda. Kadang mereka bertentangan. Kadang mereka saling tarik-menarik, bikin aku capek.
Di satu sisi, aku ingin orang mengenal aku apa adanya. Di sisi lain, aku takut kalau orang tahu, mereka akan pergi. Jadi aku memilih aman: pakai topeng.
Tapi aman itu relatif. Karena semakin lama aku memakai topeng, semakin aku kehilangan diriku sendiri.
Saat Topeng Retak
Ada satu kejadian yang bikin aku sadar betapa rapuhnya topeng yang kupakai. Waktu itu aku lagi benar-benar lelah. Semua masalah datang barengan: kerjaan, keluarga, hubungan pribadi. Aku masih berusaha tersenyum, berusaha bilang ke teman-teman, “Aku baik-baik aja kok.” Tapi ternyata tubuhku nggak bisa lagi bohong. Aku jatuh sakit.
Lucunya, justru saat aku sakit itulah topengku retak. Aku nggak punya tenaga untuk pura-pura lagi. Aku cuma bisa rebahan, terdiam, dan membiarkan orang lain melihat aku apa adanya: lemah, rapuh, butuh ditolong.
Dan ternyata… nggak seburuk itu. Orang-orang nggak meninggalkan aku. Malah beberapa justru mendekat, menawarkan bantuan. Dari situ aku sadar, kadang topengku malah menghalangi orang untuk benar-benar peduli. Mereka kira aku kuat, jadi mereka nggak merasa perlu ada buatku. Padahal kalau aku jujur dari awal, mungkin aku nggak akan merasa sendirian.
Ketakutan yang Membentuk Topeng
Kalau ditelusuri, topengku terbentuk dari banyak ketakutan. Takut gagal, takut ditolak, takut diremehkan. Semua ketakutan itu membuatku membangun persona tertentu supaya terlihat lebih bisa diterima.
Di dunia kerja, aku pakai topeng profesional. Semua harus terlihat rapi, pintar, dan penuh kontrol. Di rumah, aku pakai topeng anak berbakti, nggak boleh mengecewakan. Di pertemanan, aku pakai topeng “the funny one”, biar orang senang sama aku.
Tapi semakin banyak topeng yang aku koleksi, semakin aku bingung: yang asli aku itu sebenarnya siapa?
Menemukan Ruang untuk Wajah Asli
Aku mulai sadar, aku butuh ruang di mana aku bisa lepas topeng. Ruang di mana aku nggak harus pura-pura kuat, nggak harus selalu benar, nggak harus selalu terlihat baik-baik saja.
Kadang ruang itu aku temukan saat sendirian di kamar, menulis seperti ini. Tulisan jadi cara aku bicara tanpa harus takut dihakimi. Kadang ruang itu aku temukan dalam doa, saat aku berani jujur ke Tuhan tentang segala kegelisahanku. Kadang juga aku menemukannya di pelukan seseorang yang benar-benar bisa membuatku merasa aman.
Wajah asli itu mungkin nggak sempurna. Ada kerut, ada luka, ada kelelahan. Tapi wajah itu nyata. Dan aku rasa, aku butuh mulai berani menunjukkannya—setidaknya pada diriku sendiri.
Lucunya Topeng
Kalau dipikir-pikir, ada sisi lucu juga dari topeng ini. Misalnya, aku bisa tertawa keras di tongkrongan padahal lagi stres mikirin tagihan listrik. Atau pura-pura sibuk baca dokumen padahal lagi menghindari percakapan canggung. Atau pasang wajah serius di rapat, padahal di kepalaku lagi mikir, “Nanti makan siang enaknya apa ya?”
Topeng itu memang bikin capek, tapi kadang juga menyelamatkan. Karena jujur aja, kalau aku benar-benar jujur setiap saat, mungkin aku akan lebih sering bikin masalah. Bayangin kalau aku ngomong sejujurnya setiap kali ditanya, “Apa kabar?” Lalu aku jawab, “Hancur. Dunia ini absurd. Aku pengen kabur ke hutan.” Orang bisa kaget, bahkan bisa salah paham.
Jadi aku sadar, topeng bukan sepenuhnya buruk. Dia ada gunanya. Tapi masalahnya, jangan sampai aku lupa melepasnya.
Belajar Hidup dengan Satu Wajah
Sekarang, aku sedang belajar untuk menyatukan diri yang terpecah. Aku ingin topeng dan wajah asliku nggak terlalu jauh berbeda. Aku ingin saat orang melihatku tertawa, itu memang karena aku benar-benar bahagia, bukan sekadar menutupi luka.
Prosesnya nggak gampang. Aku masih sering refleks bilang “nggak apa-apa” meski hatiku nggak setuju. Aku masih sering menampilkan sisi kuatku meski rasanya ingin menyerah. Tapi sedikit demi sedikit, aku coba jujur.
Aku belajar bilang, “Aku capek.” Aku belajar bilang, “Aku nggak sanggup.” Aku belajar bilang, “Aku butuh bantuan.” Dan ternyata, dunia nggak runtuh saat aku jujur. Malah, dunia terasa lebih manusiawi.
Hidup dengan topeng memang membuatku aman. Tapi hanya dengan wajah asliku aku bisa merasa benar-benar hidup. Topeng akan selalu ada, mungkin tetap kupakai di momen tertentu. Tapi sekarang aku tahu, aku bukan topengku. Aku lebih dari itu.
Dan di antara wajah asli dan topeng, aku sedang belajar menemukan keseimbangan. Supaya aku nggak lagi terpecah, tapi utuh—meskipun dengan segala retak dan lukanya.



Posting Komentar