Aku duduk di sini, dan kembali lagi, ia muncul. Potongan ingatan itu. Kilasan dari masa lalu yang menyakitkan. Seperti sebuah lagu yang terus berulang di kepalaku, tanpa kenal lelah, tanpa kenal waktu. Aku sudah mencoba segalanya. Aku sudah mencoba mengalihkan perhatian. Aku sudah mencoba membayangkannya terbakar, hilang, menjadi abu. Tapi ia tidak pernah benar-benar pergi.
Pernahkah kamu punya ingatan seperti itu? Ingatan yang terus membekas. Sebuah momen yang membuatmu malu. Sebuah kata yang menyakitkan. Sebuah kehilangan yang membuatmu terpuruk. Kita semua punya. Dan kita semua, pada titik tertentu, berharap kita bisa menghapusnya, seolah-olah itu hanyalah sebuah kesalahan ketik di buku kehidupan.
Aku sering bertanya pada diriku, "Kenapa? Kenapa aku tidak bisa melupakan?"
Rasanya tidak adil. Kita bisa melupakan hal-hal yang penting. Nama orang yang baru kita temui lima menit lalu. Tanggal ulang tahun teman lama. Tapi hal-hal yang menyakitkan? Mereka punya tempat VIP di dalam memoriku. Mereka seperti hantu yang terus mengikuti, membuatku takut, membuatku cemas.
Aku dulu berpikir, ada yang salah dengan diriku. Aku berpikir, aku tidak cukup kuat. Aku tidak cukup baik dalam melupakan. Tapi, setelah lama merenung, aku menyadari. Otak kita tidak dirancang untuk melupakan. Otak kita dirancang untuk bertahan hidup.
Aku mulai melihat ingatan yang menyakitkan itu bukan sebagai musuh, tapi sebagai alarm.
Bayangkan kamu pernah menyentuh panci panas dan tanganmu terbakar. Kamu tidak akan pernah melupakan rasanya. Itu bukan karena kamu lemah. Itu karena otakmu merekam rasa sakit itu sebagai peringatan. "Jangan pernah sentuh panci panas lagi," kata otakmu. "Itu berbahaya."
Ingatan yang menyakitkan juga begitu. Mereka adalah alarm kebakaran. Mereka adalah peringatan. "Jangan biarkan dirimu berada dalam situasi itu lagi," kata mereka. "Jangan biarkan dirimu diperlakukan seperti itu lagi."
Jadi, saat ingatan itu muncul, itu bukanlah sebuah hukuman. Itu adalah sebuah pelajaran yang diulang-ulang oleh alam bawah sadarku, agar aku tidak mengulangi kesalahan yang sama. Masalahnya, terkadang alarm itu berlebihan. Terkadang alarm itu berbunyi meskipun tidak ada bahaya. Dan itu yang membuat kita lelah, membuat kita frustrasi.
Aku juga menyadari, ingatan itu tidak bisa pergi karena ceritanya belum selesai. Sebuah ingatan yang menyakitkan adalah seperti sebuah buku dengan halaman yang robek. Kita terus kembali ke halaman itu, mencoba mencari tahu apa yang terjadi, mencoba mencari tahu kenapa. Kita tidak bisa menutup bukunya, karena kita belum menemukan akhirnya.
Mungkin aku tidak bisa melupakan kata-kata kasar yang dilontarkan seseorang, karena aku belum bisa memaafkan. Mungkin aku tidak bisa melupakan kegagalan, karena aku belum bisa mengambil pelajaran. Mungkin aku tidak bisa melupakan kehilangan, karena aku belum bisa merelakan.
Ingatan itu adalah sebuah benang kusut di dalam diriku. Dan semakin aku mencoba menariknya, semakin kusut ia jadinya.
Lalu, bagaimana caranya? Jika aku tidak bisa melupakan, bagaimana aku bisa melanjutkan hidup?
Aku menemukan, bahwa jawabannya bukan di "melupakan," tapi di "mengingat dengan cara yang berbeda."
Langkah pertamaku adalah berhenti melawan. Berhenti mencoba untuk melupakan. Aku mulai menerima bahwa ingatan itu ada, dan ia adalah bagian dari diriku. Sama seperti tahi lalat di tanganku, atau bekas luka di lututku. Ia ada. Dan tidak ada yang salah dengan itu.
Aku mulai berbicara dengan ingatan itu. Aku tidak mengabaikannya. Aku berkata padanya, "Aku tahu kamu ada. Aku tahu kamu mencoba melindungiku. Terima kasih."
Dengan cara ini, aku mengubah hubunganku dengan ingatan itu. Aku tidak lagi melihatnya sebagai musuh, tapi sebagai sebuah cerita yang perlu didengar.
Kemudian, aku mulai menulis ulang narasi. Aku tidak bisa mengubah apa yang terjadi, tapi aku bisa mengubah artinya bagiku. Aku mengambil pena dan kertas, dan aku mulai menulis. Bukan tentang rasa sakitnya, tapi tentang apa yang aku pelajari dari rasa sakit itu.
"Karena aku pernah merasakan ditolak, sekarang aku tahu bagaimana cara menerima orang lain dengan sepenuh hati."
"Karena aku pernah gagal, sekarang aku tahu bahwa kegagalan bukanlah akhir, tapi hanya sebuah babak baru."
"Karena aku pernah kehilangan, sekarang aku tahu seberapa berharganya setiap momen, dan aku belajar untuk menghargainya."
Aku tidak menghapus ingatan itu. Aku hanya menambahkan babak baru. Babak tentang keberanian, tentang ketangguhan, tentang kebijaksanaan yang datang dari rasa sakit.
Dan aku mulai melihat, bahwa ingatan yang paling menyakitkan ternyata adalah tambang emas. Mereka bukan bukti kelemahan. Mereka adalah bukti bahwa aku adalah seorang pejuang yang berhasil bertahan. Bahwa aku adalah seseorang yang bisa mengubah penderitaan menjadi kekuatan.
Ini adalah proses yang sangat lambat. Aku tidak akan berbohong. Terkadang, ingatan itu datang dengan rasa sakit yang sama. Tapi sekarang, aku tidak lagi merasa cemas. Aku tahu, ia datang bukan untuk menyakitiku, tapi untuk mengingatkanku betapa jauh aku sudah melangkah.
Aku memikirkan sebuah sungai. Ingatan-ingatan yang menyakitkan adalah seperti bebatuan tajam di dasarnya. Kita tidak bisa menghapusnya. Tapi kita bisa mengalir di atasnya. Kita bisa melihatnya, mengakui keberadaannya, tapi tidak membiarkannya menghentikan aliran air.
Sungaiku tidak lagi bergejolak. Ia mengalir dengan tenang, membawa semua pengalaman, baik yang indah maupun yang menyakitkan, sebagai bagian dari dirinya.
Jadi, sekarang, setiap kali ingatan itu datang, aku tidak lagi merasa frustrasi. Aku merasa bersyukur. Aku bersyukur bahwa aku adalah orang yang berhasil selamat. Aku bersyukur bahwa aku adalah orang yang belajar untuk menjadi lebih baik.
Aku tidak perlu melupakan untuk bisa sembuh. Aku hanya perlu mengingat dengan penuh kasih sayang.
Dan pada akhirnya, aku menyadari, itulah yang membuat kita menjadi manusia yang utuh. Bukan orang yang tidak pernah terluka, tapi orang yang berani mengakui luka-lukanya, dan menjadikannya sebuah cerita yang penuh dengan makna.



Posting Komentar