Aneh ya, kadang justru di saat aku dikelilingi banyak orang, aku malah merasa paling sendiri. Ada suara tawa, musik yang kencang, obrolan yang rame ke sana ke mari, tapi di dalam hati kayak ada ruang kosong yang nggak bisa disentuh siapa pun. Rasanya seperti duduk di tengah konser besar tapi kupingku nggak mendengar apa-apa selain dengungan sepi.
Aku pernah mikir, mungkin aku aja yang kurang pandai bersosialisasi. Atau jangan-jangan aku memang introvert parah yang nggak cocok sama keramaian. Tapi makin lama, aku sadar bahwa kesepian itu bukan sekadar soal jumlah orang di sekitar. Kesepian itu ada hubungannya sama keterhubungan—apakah aku benar-benar merasa nyambung dengan mereka atau nggak.
Pernah satu kali, aku ikut nongkrong rame-rame di sebuah kafe. Semua orang terlihat asyik dengan topiknya masing-masing. Ada yang cerita soal pekerjaan, ada yang bahas film, ada yang sekadar curhat masalah pasangan. Aku ikut duduk, senyum, bahkan kadang ikut ketawa biar nggak keliatan aneh. Tapi dalam hati, aku bertanya, “Kenapa aku nggak merasa bagian dari ini ya?” Rasanya kayak aku jadi penonton film yang dipaksa duduk di kursi penonton, sementara di layar ada adegan orang-orang yang kelihatan bahagia.
Dan yang lebih menyedihkan, perasaan hampa itu muncul juga bahkan dengan orang-orang terdekat. Kadang aku ngobrol dengan teman lama, tapi percakapannya cuma permukaan, basa-basi yang habis manis sepah dibuang. Ada momen di mana aku pengen ngomong, “Hei, aku capek banget sebenarnya,” atau “Aku lagi bingung sama hidup,” tapi mulutku kelu. Karena aku tahu nggak semua orang bisa atau mau benar-benar mendengar.
Kesepian dalam keramaian itu, menurutku, muncul ketika hati kita nggak menemukan cerminannya di orang lain. Aku bisa duduk bareng banyak orang, tapi kalau nggak ada rasa saling ngerti, kalau nggak ada ruang untuk jujur, ya hati ini tetap hampa.
Aku jadi ingat masa kecil. Dulu aku sering main sendirian, bikin dunia imajiner sendiri, ngobrol sama tokoh-tokoh khayalan. Mungkin karena aku sudah terbiasa merasa nggak sepenuhnya dipahami, aku menciptakan teman dalam pikiranku. Sekarang, meski sudah dewasa, perasaan itu masih ada. Bedanya, aku nggak lagi main imajiner, tapi aku tetap mencari sesuatu yang bisa membuatku merasa dilihat apa adanya.
Lucunya, kadang kesepian ini justru lebih terasa ketika aku memaksakan diri untuk ikut ramai. Misalnya, saat semua orang seru-seruan di media sosial, update ini itu, dan aku coba ikutan. Tapi setelahnya malah kosong. Seperti makan junk food: kenyang sebentar, tapi setelah itu perut perih dan hati tetap lapar.
Aku nggak mau bohong, perasaan ini sering bikin aku bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengan diriku? Kok bisa ya, ada banyak orang sayang sama aku, ada keluarga, ada teman, tapi aku tetap merasa sendirian? Pertanyaan itu bikin aku sempat ngerasa aneh sendiri. Sampai suatu hari aku nemu kalimat sederhana: kesepian bukan soal sendirian, tapi soal merasa nggak terhubung.
Itu menampar banget. Karena ternyata aku nggak aneh, aku cuma manusia. Semua orang, di titik tertentu, pasti pernah ngerasain hal yang sama. Ada orang yang punya ratusan teman tapi tetap kesepian. Ada yang punya pasangan, tapi tetap merasa nggak dipahami. Dan itu bukan karena kurangnya jumlah orang, tapi karena kurangnya kedalaman.
Sejak itu aku mencoba sesuatu. Aku berhenti memaksakan diri untuk selalu ada di keramaian. Aku mulai pilih-pilih momen. Kalau memang lagi butuh sendiri, aku nggak ragu untuk pulang lebih dulu. Kalau lagi capek ngobrol basa-basi, aku biarkan diriku diam. Dan lucunya, justru di kesendirian itu aku kadang menemukan rasa tenang yang nggak aku dapatkan di tengah banyak orang.
Tentu bukan berarti aku jadi antisosial. Aku tetap butuh orang lain. Tapi aku sadar, aku lebih butuh satu-dua orang yang bisa benar-benar mendengar daripada sepuluh orang yang cuma ngobrol di permukaan. Aku lebih butuh hubungan yang jujur daripada sekadar kumpul ramai-ramai biar nggak kelihatan sendirian.
Ada juga momen reflektif yang bikin aku mikir: mungkin kesepian ini juga datang karena aku sendiri belum sepenuhnya berani membuka diri. Kadang aku ingin orang lain ngerti aku, tapi aku sendiri nggak kasih kesempatan mereka tahu isi hatiku. Aku terlalu sibuk menjaga image, takut dianggap lemah, takut bikin orang ilfeel. Padahal, mungkin kalau aku berani jujur, ada aja orang yang bisa nyambung.
Kesepian dalam keramaian akhirnya jadi semacam alarm buatku. Alarm yang bilang, “Hei, kamu butuh lebih jujur sama diri sendiri. Kamu butuh koneksi yang nyata, bukan cuma formalitas.” Dan anehnya, ketika aku mulai mengerti itu, aku jadi lebih rileks menghadapi kesepian. Aku nggak lagi melihatnya sebagai musuh, tapi sebagai tanda bahwa aku butuh kembali menyapa diriku sendiri.
Sekarang, kalau aku lagi merasa hampa di tengah banyak orang, aku nggak buru-buru panik. Aku tarik napas, aku senyum sedikit, dan aku bilang ke diri sendiri, “Nggak apa-apa, kamu nggak harus selalu merasa nyambung. Yang penting kamu tetap ada di sini, sama dirimu sendiri.”
Karena pada akhirnya, sepi atau ramai, yang paling penting adalah apakah aku bisa benar-benar merasa hadir bersama diriku. Kalau aku bisa memahami itu, hati ini mungkin nggak akan selalu penuh, tapi setidaknya dia nggak akan lagi terasa hampa.



Posting Komentar