Kadang aku bertanya-tanya, sejak kapan aku merasa harus selalu kuat? Sejak kapan aku menganggap rapuh itu dosa, lemah itu aib, dan menangis itu tanda kegagalan? Aku bahkan lupa siapa yang pertama kali bilang, “Kamu harus kuat, kamu nggak boleh nangis, kamu harus bisa ngadepin semuanya.” Mungkin orang tua, mungkin guru, mungkin teman, atau mungkin aku sendiri yang menanamkan kalimat itu di kepala, sampai akhirnya aku percaya bulat-bulat.
Tapi semakin aku tumbuh, semakin aku sadar: ternyata jadi kuat itu melelahkan. Bukan karena aku benci dengan kekuatan, tapi karena aku merasa dipaksa. Ada bagian dari diriku yang ingin rebah, ingin mengaku kalah, ingin sekadar bilang, “Aku capek.” Tapi mulutku sering kali menolak mengucapkannya. Aku lebih memilih tersenyum, mengiyakan semua, mengangguk pura-pura baik-baik saja, padahal dalam hati aku gemetar.
Aku pernah mengalami masa di mana aku benar-benar kelelahan—bukan hanya secara fisik, tapi juga mental. Rasanya seperti tubuhku jalan sendiri, sementara pikiranku tertinggal entah di mana. Aku ketawa di luar, tapi di dalam aku kosong. Aku masih bisa ngobrol, masih bisa kerja, masih bisa bercanda, tapi semua itu terasa otomatis, seperti robot. Dan lucunya, orang-orang tetap melihatku sebagai “sosok kuat”. Mereka bilang, “Kamu hebat, ya. Kamu selalu bisa berdiri tegak.” Dalam hati aku hanya bisa senyum miris: kalau saja mereka tahu betapa rapuhnya aku di balik itu semua.
Mengapa Kita Takut Mengakui Rapuh?
Aku sering merenung, kenapa aku—dan mungkin banyak orang lain—begitu takut kelihatan rapuh? Bukankah rapuh itu manusiawi? Bukankah kita semua punya sisi lemah, sisi yang butuh dipeluk, sisi yang ingin menangis tanpa ditanya-tanya?
Aku rasa jawabannya ada di cara kita tumbuh. Sejak kecil, banyak dari kita sudah terbiasa mendengar kalimat seperti:
“Jangan nangis, nanti diketawain.”
“Laki-laki itu nggak boleh lembek.”
“Kalau kamu nangis, berarti kamu kalah.”
Padahal, bukankah menangis itu cuma ekspresi? Sama halnya seperti tertawa. Kita tidak pernah dilarang tertawa, tapi kenapa menangis harus jadi sesuatu yang dilarang? Kenapa tertawa dianggap wajar, sementara menangis dianggap memalukan?
Aku jadi ingat momen-momen kecil. Saat masih kecil, aku pernah jatuh dari sepeda dan dengkulku berdarah. Rasanya sakit sekali. Aku ingin menangis, tapi ada suara di sekitarku yang bilang, “Udah, jangan cengeng. Bangun lagi, kuat dong.” Jadi aku menahan tangis itu, padahal hatiku ingin sekali melepaskannya. Dari situ mungkin aku belajar, bahwa rapuh itu tidak boleh terlihat.
Tapi ternyata, semakin aku dewasa, semakin aku sadar kalau justru dengan mengakui rapuh, aku bisa lebih manusiawi. Aku tidak perlu selalu terlihat kuat. Aku tidak harus selalu jadi sandaran. Aku juga boleh disandari.
Rapuh Itu Bukan Lawan Kuat
Ada satu hal penting yang akhirnya aku pahami: rapuh itu bukan lawannya kuat. Rapuh adalah bagian dari kuat. Sama seperti malam dan siang yang saling melengkapi, rapuh dan kuat itu pasangan yang tidak bisa dipisahkan.
Kalau aku selalu pura-pura kuat, lama-lama aku akan runtuh sendiri. Aku pernah merasakan fase itu. Aku menahan semua rasa sakit, semua beban, semua ketakutan, hingga akhirnya aku meledak. Dan saat aku meledak, yang keluar bukan hanya tangis, tapi juga amarah, kecewa, bahkan rasa benci pada diriku sendiri. Aku marah karena aku tidak bisa “sekuat yang aku bayangkan.”
Tapi setelah melewati badai itu, aku sadar: aku tidak perlu memisahkan kuat dan rapuh. Aku bisa tetap kuat, sambil mengakui rapuhku. Justru di situlah aku menemukan keseimbangan.
Bayangkan seperti kaca. Kaca bisa terlihat kokoh, tapi sebenarnya rapuh. Kalau pecah, serpihannya bisa melukai. Namun, ketika kita merawatnya, menempatkannya dengan baik, kaca bisa memantulkan cahaya dengan indah. Begitu juga aku. Aku mungkin rapuh, tapi bukan berarti aku tidak bisa bersinar.
Saat Aku Belajar Mengaku Lelah
Ada momen dalam hidupku di mana aku akhirnya berani berkata, “Aku lelah.” Itu terjadi setelah aku merasa hampir kehabisan tenaga. Aku ingat sekali, malam itu aku sendirian di kamar, duduk menatap langit-langit. Rasanya dadaku sesak. Aku ingin lari, tapi tidak tahu harus ke mana. Ingin cerita, tapi takut merepotkan.
Akhirnya aku memberanikan diri mengirim pesan pada seorang teman dekat: “Aku capek banget. Aku nggak kuat.” Aku kirim dengan tangan gemetar, takut ia akan menganggapku lemah. Tapi ternyata jawabannya justru membuatku menangis lega. Ia membalas, “Nggak apa-apa capek. Nggak apa-apa nggak kuat. Aku di sini kalau kamu butuh.”
Kalimat sederhana itu membuatku sadar betapa selama ini aku terlalu keras pada diriku sendiri. Aku memaksa diriku jadi kuat, padahal orang-orang yang benar-benar peduli tidak menuntutku untuk selalu begitu. Mereka menerima aku dengan segala rapuhku.
Merangkul Rapuh, Merangkul Diri
Sejak saat itu, aku mulai belajar merangkul rapuhku. Aku mulai membiarkan diriku menangis kalau memang ingin menangis. Aku mulai jujur kalau aku merasa lelah. Aku mulai berani bilang “aku butuh istirahat” tanpa merasa bersalah.
Dan yang mengejutkan, ternyata setelah aku mengakui rapuhku, aku justru merasa lebih kuat. Kuat, bukan karena aku menutupi semua kelemahan, tapi karena aku berani melihatnya, menghadapinya, dan menerimanya.
Aku belajar bahwa merangkul diri berarti menerima semua bagian: yang ceria maupun murung, yang berani maupun takut, yang kuat maupun rapuh. Tidak ada yang salah dengan rapuh. Tidak ada yang salah dengan menangis. Tidak ada yang salah dengan meminta tolong.
Mungkin di luar sana banyak orang yang masih percaya kalau kuat berarti tidak boleh lemah. Tapi bagiku sekarang, kuat berarti bisa jujur tentang kelemahan, sambil tetap melangkah maju.
Aku dan Kamu yang Sama-Sama Manusia
Kadang aku berpikir, mungkin kita semua sebenarnya sama. Kita semua pernah lelah, pernah rapuh, pernah merasa tidak cukup. Kita semua pernah ingin menyerah, tapi tetap memilih bangun lagi esok harinya. Kita semua punya cerita tentang pura-pura kuat di depan orang lain, lalu menangis diam-diam di kamar sendiri.
Kalau begitu, kenapa kita tidak saling jujur saja? Kenapa kita harus terus-menerus berpura-pura baik-baik saja? Bukankah akan lebih lega kalau kita bisa saling berbagi rapuh, saling menopang, saling bilang, “Aku juga manusia, sama sepertimu.”
Aku tidak lagi ingin jadi orang yang selalu kelihatan kuat. Aku hanya ingin jadi manusia yang apa adanya. Kadang kuat, kadang rapuh. Kadang berani, kadang takut. Kadang tertawa keras, kadang menangis sesenggukan.
Dan aku harap, kamu pun bisa merangkul dirimu dengan cara yang sama. Jangan lagi memaksa dirimu jadi sosok sempurna yang selalu berdiri tegak. Percayalah, bahkan ketika kamu rebah, kamu tetap berharga. Bahkan ketika kamu menangis, kamu tetap manusia yang pantas dicintai.



Posting Komentar