Aku baru saja menyelesaikan surat untuk diriku yang kecil. Rasanya seperti sebuah katarsis, seperti ada beban yang terangkat. Tapi, saat aku menutup buku jurnal, aku menyadari sesuatu. Tidak semua luka bisa disembuhkan hanya dengan sepucuk surat. Ada luka-luka yang lebih dalam, lebih tak terlihat, yang terus membekas. Luka yang membentuk kita tanpa kita sadari.
Pernahkah kamu merasa ada sesuatu yang janggal dalam dirimu? Sesuatu yang membuatmu bereaksi berlebihan pada hal-hal kecil, atau membuatmu menarik diri saat seharusnya mendekat? Rasanya seperti ada benang-benang tak kasat mata yang terus menarikmu ke arah yang tidak kamu inginkan. Benang-benang itu, aku mulai menyadarinya, berasal dari masa lalu. Dari luka-luka yang tak terlihat.
Aku dulu berpikir, "Ah, itu sudah lewat. Aku sudah melupakannya." Tapi, apakah benar-benar bisa dilupakan? Seperti bekas luka fisik, yang meskipun sudah sembuh dan tidak sakit lagi, tapi tetap ada di kulitmu sebagai pengingat. Luka batin pun begitu. Ia mungkin tidak lagi terasa nyeri yang menusuk, tapi jejaknya tetap ada, membentuk caramu melihat dunia, caramu berinteraksi, caramu mencintai.
Aku memikirkan tentang satu kejadian yang dulu kuanggap sepele. Saat aku masih kecil, aku pernah dengan bangga menunjukkan gambarku pada orang dewasa. Aku menghabiskan berjam-jam untuk menggambar rumah dengan atap merah, pohon hijau, dan matahari tersenyum. Aku mengharapkan pujian, senyum, mungkin tepukan di kepala. Tapi yang kudapat hanyalah, "Gambarmu bagus, tapi kenapa pohonnya bengkok?"
Hanya kalimat sederhana itu. Tapi di telinga anak kecil, kalimat itu bagai guntur. Gambarku yang semula sempurna, tiba-tiba terasa cacat. Aku merasa malu. Sejak saat itu, aku jarang sekali menunjukkan karyaku pada orang lain. Aku mulai berpikir, "Apa pun yang kulakukan, pasti ada saja salahnya."
Bertahun-tahun berlalu, aku lupa tentang kejadian pohon bengkok itu. Tapi pola itu terus ada. Aku jadi takut mencoba hal baru, takut salah, takut dikritik. Aku jadi sering menunda-nunda, karena rasa takut akan ketidaksempurnaan itu begitu besar. Aku tidak menyadari bahwa akar dari rasa takut ini berasal dari sebuah komentar kecil di masa lalu. Luka yang tak terlihat.
Aku mulai melihat sekelilingku. Aku melihat teman-temanku, bagaimana mereka berinteraksi, bagaimana mereka bereaksi. Aku punya teman yang selalu ingin menyenangkan semua orang, selalu berkata 'iya' meskipun dia kelelahan. Aku tahu dia pernah punya masa lalu di mana dia harus selalu 'baik' agar diterima, agar tidak ditinggalkan. Luka penolakan.
Aku punya teman lain yang sangat kesulitan untuk percaya pada siapa pun. Dia selalu curiga, selalu mencari-cari motif tersembunyi. Aku tahu dia pernah dikhianati, berulang kali, oleh orang-orang yang dia percaya. Luka pengkhianatan.
Aku punya teman yang sangat sulit menerima pujian. Setiap kali ada yang memujinya, dia akan langsung mengecilkan diri, merasa tidak pantas. Aku tahu dia pernah hidup di lingkungan yang penuh kritik, di mana pujian terasa asing, bahkan menakutkan. Luka tidak berharga.
Luka-luka ini tidak meninggalkan bekas luka fisik. Tidak ada yang bisa melihatnya dengan mata telanjang. Tapi mereka ada. Mereka memanifestasikan diri dalam perilaku kita, dalam cara kita berpikir, dalam emosi kita. Mereka adalah hantu-hantu masa lalu yang terus menghantui masa kini.
Aku duduk di sini, mencoba memahami semua ini. Jadi, kita semua berjalan dengan membawa peta usang, dan di peta itu, ada juga bekas-bekas luka yang tak terlihat. Rasanya seperti sebuah labirin. Kita tahu kita ingin keluar, tapi kita tidak tahu di mana pintu keluarnya, karena kita bahkan tidak tahu bahwa kita sedang berada di dalam labirin.
Lalu, bagaimana kita bisa mengenali luka-luka yang tak terlihat ini?
Pertama, aku sadar, aku harus berhenti menyalahkan diriku atas reaksinya. Setiap kali aku merasa marah berlebihan, sedih tanpa alasan jelas, atau cemas yang tidak proporsional, aku dulu langsung menghakimi diri sendiri. "Kenapa kamu begini? Kamu kan sudah dewasa." Tapi sekarang, aku mencoba mengubahnya. Aku mencoba melihat reaksi itu sebagai sebuah 'sinyal'.
Sinyal bahwa ada sesuatu di bawah permukaan yang perlu perhatian. Seperti alarm kebakaran yang berbunyi, bukan berarti api itu muncul sekarang. Mungkin ada percikan kecil dari kejadian lama yang kini memicu alarm itu.
Aku mulai bertanya pada diriku, "Dari mana datangnya perasaan ini? Kapan pertama kali aku merasakannya?" Kadang jawabannya langsung muncul. Kilasan ingatan. Suara seseorang. Aroma tertentu. Kadang jawabannya samar. Hanya sebuah perasaan yang akrab, tapi tidak jelas asalnya.
Itu seperti mencoba memecahkan teka-teki. Setiap kali aku merasakan dorongan untuk mengulangi pola lama (misalnya, menunda-nunda), aku mencoba mundur selangkah dan mencari tahu apa yang sebenarnya memicunya. Apakah itu ketakutan akan kegagalan (dari komentar pohon bengkok itu)? Atau ketakutan akan penilaian (dari pengalaman ditertawakan saat presentasi di sekolah)?
Dan aku menemukan, bahwa seringkali, luka-luka ini berasal dari pengalaman-pengalaman yang kita anggap kecil di masa lalu. Pengalaman yang oleh orang dewasa mungkin dianggap "tidak apa-apa", tapi di mata seorang anak, itu adalah dunia yang runtuh.
Kata-kata yang Menancap: "Kamu selalu ceroboh," "Kamu tidak akan pernah bisa," "Kenapa kamu tidak seperti kakakmu?" Kata-kata ini, meskipun diucapkan tanpa niat jahat, bisa menancap jauh ke dalam diri dan menjadi sebuah keyakinan yang membatasi.
Pengalaman Penolakan: Diabaikan saat ingin bermain, tidak diajak ke pesta ulang tahun, atau ditertawakan saat mencoba berani. Pengalaman ini bisa menumbuhkan rasa takut akan penolakan yang membekas hingga dewasa.
Kurangnya Validasi: Saat perasaan kita diremehkan ("Jangan cengeng!"), atau saat pencapaian kita tidak diakui, kita belajar untuk tidak percaya pada perasaan kita sendiri dan merasa tidak berharga.
Trauma Terselubung: Ini bisa berupa kekerasan (fisik atau emosional), kehilangan yang mendalam, atau bahkan hanya merasa tidak aman secara konstan. Trauma ini seringkali tersembunyi di bawah sadar dan memengaruhi cara kerja sistem saraf kita.
Aku menyadari, kita semua membawa bagasi. Sebuah bagasi yang tidak terlihat, tapi berat. Dan bagasi ini terus memengaruhi perjalanan kita. Ia membuat kita lebih lambat, lebih lelah, dan seringkali, lebih takut.
Jadi, setelah menyadari keberadaan luka-luka tak terlihat ini, apa yang harus kulakukan?
Aku tahu, aku tidak bisa menghapus masa lalu. Luka-luka itu sudah ada. Tapi aku bisa mengubah hubunganku dengan mereka. Aku bisa berhenti membiarkan mereka mengendalikan masa kiniku.
Langkah pertama adalah memvalidasi luka itu sendiri. Aku sering berkata pada diriku, "Jangan lebay, itu kan cuma hal kecil." Tapi sekarang, aku belajar untuk berkata, "Tidak apa-apa kalau kamu merasa sakit. Rasa sakitmu valid. Itu adalah bagian dari ceritamu."
Memvalidasi tidak berarti memanjakan. Memvalidasi berarti memberikan ruang bagi perasaan itu untuk muncul, dilihat, dan diakui. Seperti mengobati luka fisik, kamu tidak bisa langsung menutupnya tanpa membersihkannya dulu. Kamu harus melihatnya, membersihkannya, baru kemudian bisa mengobatinya.
Kemudian, aku mencoba melihat pola reaksinya sebagai pelindung, bukan penghambat. Contohnya, rasa takutku akan kritik. Dulu aku membencinya karena membuatku menunda. Tapi sekarang, aku mencoba melihatnya sebagai bagian dari diriku yang mencoba melindungiku agar tidak merasakan sakit lagi. "Oh, rasa takut ini ada karena dia tidak ingin aku terluka seperti dulu."
Dengan melihatnya seperti itu, aku bisa berbicara pada rasa takut itu. Bukan melawannya, tapi berdialog. "Aku tahu kamu mencoba melindungiku, dan aku menghargainya. Tapi sekarang, aku sudah dewasa. Aku punya alat yang lebih baik untuk menghadapi ini. Aku bisa mencoba, dan jika aku gagal, aku akan baik-baik saja."
Ini adalah proses yang sangat lambat. Aku tidak akan berbohong. Terkadang aku merasa lelah. Terkadang aku merasa ingin kembali saja ke kotak kardus itu dan pura-pura tidak pernah melihat foto masa kecilku. Tapi aku tahu, jika aku tidak menghadapinya sekarang, luka-luka itu akan terus menghantuiku. Mereka akan terus menarik benang-benang tak kasat mata itu, dan aku akan terus mengulangi pola yang sama.
Aku juga belajar untuk mencari dukungan. Aku mulai berbicara dengan orang-orang yang kupercaya. Aku menceritakan tentang pola-polaku, tentang rasa takutku. Dan aku terkejut, betapa banyak dari mereka yang juga merasakan hal yang sama. Mereka juga punya luka-luka tak terlihat mereka sendiri. Dalam berbagi, aku menemukan bukan hanya dukungan, tapi juga validasi. Aku tidak sendirian.
Terkadang, mencari dukungan berarti mencari bantuan profesional. Terapis adalah seperti pemandu yang bisa membantumu membaca peta yang sangat rumit, peta masa lalumu. Mereka tidak akan memberitahumu apa yang harus dilakukan, tapi mereka akan membantumu melihat jalan keluar yang mungkin tidak pernah kamu sadari. Mereka akan membantumu memahami asal muasal luka-luka itu, dan bagaimana cara membersihkannya.
Ini bukan tentang menghapus sejarah. Tapi tentang menulis ulang narasi. Mengubah cerita dari "aku adalah korban dari masa laluku" menjadi "aku adalah penyintas yang kuat, yang belajar dari masa laluku, dan sekarang menciptakan masa depanku sendiri."
Aku memandang ke luar jendela. Langit sore ini berwarna jingga keemasan. Indah sekali. Ada rasa damai yang mulai meresap. Bukan damai karena semua luka sudah hilang, tapi damai karena aku sudah tahu bagaimana cara merawatnya.
Luka-luka tak terlihat itu mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang. Tapi mereka tidak lagi menguasai. Mereka tidak lagi menjadi magnet yang menarikku ke pola lama. Mereka sekarang menjadi pengingat. Pengingat tentang seberapa jauh aku sudah melangkah. Pengingat tentang seberapa kuat aku.
Dan dengan kesadaran itu, aku merasa siap untuk melangkah maju. Dengan segala luka, segala bekas, aku adalah aku. Dan itu sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup.



Posting Komentar