SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Memaafkan Diri Sendiri: Babak Pertama - Senandika #5

Pernahkah kamu merasakan hal yang sama? Aku tahu kamu pernah. Rasa sakit itu bukan datang dari orang lain, tapi dari diriku sendiri.
Memaafkan Diri Sendiri: Babak Pertama - Senandika #5

Aku berdiri di depan cermin. Bukan cermin yang di kamar mandi, tapi cermin yang ada di dalam diriku. Aku menatap pantulannya, dan aku tidak melihat wajahku. Aku melihat semua kesalahan yang pernah aku buat. Semua kata yang seharusnya tidak pernah terucap. Semua keputusan yang seharusnya tidak pernah diambil.

Pernahkah kamu merasakan hal yang sama? Aku tahu kamu pernah. Rasa sakit itu bukan datang dari orang lain, tapi dari diriku sendiri. Dari suara yang terus berbisik, "Kamu seharusnya tahu lebih baik." "Kenapa kamu begitu bodoh?" "Kamu sudah merusak segalanya."

Rasanya seperti ada seorang hakim di dalam diriku, yang terus-menerus menuntutku. Dan aku, sang terdakwa, tidak pernah punya pembelaan yang cukup. Setiap kali aku mencoba untuk membela diri, sang hakim akan menunjukkan bukti-bukti. Bukti-bukti yang tidak bisa kusangkal, karena itu adalah kesalahan yang nyata. Dan hukuman pun dijatuhkan. Hukuman yang beratnya tidak sebanding dengan kesalahan. Hukuman yang terus aku pikul, hari demi hari.

Aku dulu berpikir, rasa bersalah ini adalah sebuah alat. Alat yang akan mencegahku mengulangi kesalahan yang sama. Alat yang akan membuatku menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi aku salah. Rasa bersalah ini tidak membuatku lebih baik. Ia hanya membuatku menjadi lebih lelah, lebih takut. Ia membuatku terus melihat ke belakang, bukan ke depan.

Ada perbedaan besar antara rasa bersalah dan rasa malu. Rasa bersalah adalah "aku melakukan sesuatu yang buruk." Rasa malu adalah "aku adalah orang yang buruk." Dan aku, selama ini, telah membiarkan rasa bersalah berubah menjadi rasa malu. Aku tidak hanya menghukum tindakanku, tapi aku juga menghukum diriku sebagai manusia.

Dan itulah mengapa memaafkan diri sendiri terasa begitu sulit. Karena itu bukan hanya tentang melepaskan satu kesalahan. Tapi tentang melepaskan keyakinan bahwa kita adalah orang yang buruk.

Aku duduk, dan aku membiarkan diriku merasakannya. Aku membiarkan semua rasa sakit, rasa malu, dan rasa bersalah itu muncul. Aku tidak melawannya, aku tidak menyingkirkannya. Aku hanya duduk diam, seperti sedang menemani seorang teman yang sedang menangis.

Aku berpikir tentang apa yang akan aku katakan pada seorang teman yang melakukan kesalahan yang sama denganku. Aku tidak akan menghakiminya. Aku akan memeluknya. Aku akan mengatakan padanya, "Tidak apa-apa. Kamu manusia. Kamu tidak sengaja. Kita bisa memperbaikinya." Aku tidak akan menuntutnya untuk menjadi sempurna. Kenapa aku bisa bersikap begitu baik pada orang lain, tapi begitu kejam pada diriku sendiri?

Babak pertama dari memaafkan diri sendiri bukanlah tentang melupakan. Bukan tentang berpura-pura tidak pernah terjadi. Tapi tentang mengakui. Mengakui bahwa kesalahan itu terjadi. Mengakui bahwa ia menyakitkan. Mengakui bahwa ia adalah bagian dari ceritaku, tapi bukan cerita itu sendiri.

Aku memejamkan mata dan kembali ke momen kesalahan itu. Aku tidak melihatnya sebagai sebuah kegagalan. Aku melihatnya sebagai sebuah pelajaran. Pelajaran yang datang dengan cara yang sulit. Tapi tetap sebuah pelajaran.

Aku mulai bertanya pada diriku, "Kenapa kamu melakukan itu?"

Dan jawaban-jawaban itu datang. Bukan jawaban yang menuntut, tapi jawaban yang penuh pemahaman. "Aku lelah. Aku cemas. Aku merasa tidak aman. Aku merasa tertekan." Jawaban-jawaban ini tidak menghapus kesalahan. Tapi mereka memberikan konteks. Mereka mengingatkanku bahwa aku adalah seorang manusia, bukan robot yang diprogram untuk tidak pernah salah.

Setelah aku mengerti 'mengapa', aku bisa mulai melepaskan 'bagaimana'. Aku bisa melepaskan cengkeraman rasa malu itu. Aku bisa mengatakan pada diriku, "Itu adalah hal yang kamu lakukan, bukan siapa kamu."

Lalu, di tengah keheningan, aku mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang selama ini begitu sulit untuk kuucapkan.

"Aku memaafkanmu."

Aku mengucapkannya untuk diriku yang melakukan kesalahan. Untuk diriku yang merasa malu. Untuk diriku yang merasa tidak cukup.

Rasanya aneh. Seperti ada beban yang terangkat dari pundakku. Beban yang selama ini aku kira adalah bagian dari diriku, ternyata hanyalah hukuman yang aku jatuhkan sendiri.

Tapi ini baru babak pertama. Memaafkan diri sendiri bukanlah sebuah akhir. Itu adalah sebuah awal. Sebuah awal dari hubungan baru dengan diriku. Hubungan yang didasari oleh belas kasih, bukan penghakiman.

Aku tahu, rasa bersalah itu akan datang lagi. Suara hakim itu mungkin akan berbisik lagi. Tapi sekarang, aku punya pembelaan. Pembelaan yang sangat kuat. "Aku sudah memaafkan diriku. Dan aku akan melakukannya lagi, setiap kali aku membutuhkannya."

Memaafkan diri sendiri juga bukan berarti lari dari tanggung jawab. Sebaliknya, ia adalah prasyarat untuk mengambil tanggung jawab. Ketika kita membebaskan diri dari rasa malu, kita bisa melihat kesalahan kita dengan jelas, dan kita bisa mengambil langkah nyata untuk memperbaikinya, tanpa dibebani oleh rasa sakit yang tidak perlu.

Jadi, sekarang, setiap kali aku melihat cermin, aku tidak lagi hanya melihat kesalahan. Aku melihat diriku. Seorang manusia yang tidak sempurna, yang belajar, yang jatuh, dan yang selalu mencoba untuk bangkit kembali.

Dan di matanya, aku melihat belas kasih. Aku melihat kekuatan yang datang dari keberanian untuk mengakui kelemahan.

Posting Komentar