SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Mencari Rumah dalam Diriku: Tempat Pulang yang Tak Pernah Hilang - Senandika #17

Rumah bukan hanya bangunan, tapi rasa pulang. Dalam perjalanan hidup, aku menyadari bahwa rumah sejati ternyata bisa kutemukan di dalam diriku sendiri
Mencari Rumah dalam Diriku: Tempat Pulang yang Tak Pernah Hilang - Senandika #17

Kadang aku suka iri sama orang-orang yang bisa dengan gampang bilang, “Rumahku di sana,” sambil menunjuk ke arah sebuah pintu dengan halaman rapi, pohon mangga di depan, dan suara riuh keluarga yang menunggu di dalamnya. Sementara aku? Aku sering merasa rumah bukan lagi sekadar bangunan. Rumah, buatku, jadi sesuatu yang abstrak, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar dinding dan atap.

Ada masa ketika aku pulang ke rumah secara fisik, tapi hati tetap terasa kosong. Duduk di ruang tamu, bercengkerama dengan orang-orang yang seharusnya dekat, tapi entah kenapa ada jarak yang sulit dijelaskan. Di situlah aku mulai sadar: rumah bukan sekadar tempat, tapi perasaan. Dan perasaan itu, ternyata bisa hilang.

Perjalanan ini membuatku mulai mencari: kalau rumah di luar sana bisa hancur, bisa hilang, bisa ditinggalkan, apakah ada rumah lain yang tak bisa diambil siapa pun? Pertanyaan itu lama mengendap, sampai suatu ketika aku tersadar: rumah itu mungkin ada di dalam diriku sendiri.

Aku mulai melihat kembali perjalanan hidupku. Setiap kali aku merasa tersesat, aku selalu punya satu tempat yang sebenarnya bisa jadi pelarian—diriku sendiri. Ketika aku duduk sendirian, menutup mata, dan mencoba mendengar suara hatiku, ada rasa yang sulit digambarkan. Seperti menemukan pondok kecil di tengah hutan. Sederhana, tapi hangat.

Tentu, menemukan rumah dalam diri sendiri bukan hal gampang. Aku sering kali merasa asing dengan diriku. Bahkan, pernah suatu masa aku lebih mengenal orang lain ketimbang mengenal diriku sendiri. Aku tahu kesukaan teman-temanku, tahu makanan favorit mereka, tahu apa yang bikin mereka kesal. Tapi ketika ditanya: “Kamu sendiri sukanya apa? Apa yang bikin kamu tenang?” aku malah bengong. Lucu ya, gimana mungkin aku hidup bersama diriku selama puluhan tahun, tapi bisa sebegitu asingnya.

Maka, perjalanan mencari rumah dalam diri pun dimulai. Awalnya, aku mencoba hal-hal sederhana. Duduk sendirian tanpa gangguan, mencoba menulis apa saja yang aku rasakan. Ternyata, aku butuh waktu untuk jujur. Kadang aku menulis hal-hal klise, seakan masih pura-pura baik-baik saja. Tapi lama-lama, tembok itu runtuh. Dari sana aku bisa melihat luka-luka lama, ketakutan yang belum selesai, dan harapan-harapan yang selama ini kupendam.

Aku belajar menerima semuanya. Rumah, ternyata, bukan hanya tempat menyimpan hal-hal indah, tapi juga tempat menyembunyikan luka. Dan itu nggak masalah. Rumahku dalam diriku ini nggak harus sempurna. Ia boleh retak, boleh berantakan, boleh penuh tumpukan barang yang belum rapi. Yang penting, ia nyata.

Ada satu hal yang akhirnya membuatku sadar: rumah dalam diriku ini selalu ada, meski dunia di luar berubah. Orang datang dan pergi, tempat bisa berganti, bahkan hubungan bisa putus, tapi diriku sendiri akan selalu bersamaku. Dan itu artinya, aku nggak akan pernah benar-benar kehilangan rumah.

Seiring waktu, aku mulai menemukan ritual-ritual kecil yang bikin aku merasa pulang ke diriku. Membaca buku sambil ditemani kopi, jalan kaki sore hari, atau sekadar rebahan sambil mendengarkan musik lawas. Ternyata, hal-hal sederhana itu bisa jadi pintu masuk ke rumah batinku.

Yang paling menenangkan adalah ketika aku sadar: aku nggak lagi butuh pengakuan orang lain untuk merasa diterima. Dulu, aku merasa rumahku ada di orang lain. Aku merasa pulang kalau ada yang menyayangiku, ada yang menungguku. Tapi sekarang aku sadar, pulang itu bisa kulakukan sendiri, tanpa harus bergantung pada siapa pun.

Tentu, aku masih butuh orang lain. Aku tetap manusia yang ingin dicintai dan mencintai. Tapi sekarang aku nggak lagi menaruh semua kunci rumahku di tangan mereka. Aku punya kunci cadangan yang kusimpan di dalam diriku. Jadi, kalau pun suatu saat orang lain pergi, aku masih bisa pulang.

Perjalanan ini belum selesai. Aku masih sering merasa tersesat, masih sering merasa sepi. Tapi bedanya, sekarang aku tahu ke mana harus kembali. Dan itu membuat langkahku lebih ringan. Karena aku tahu, sejauh apa pun aku melangkah, rumah itu selalu ada di dalam sini.

Mungkin, inilah arti pulang yang sebenarnya. Bukan tentang alamat di peta, bukan tentang siapa yang menunggu di depan pintu, tapi tentang keberanian untuk duduk dengan diri sendiri, menerima semua sisi—baik, buruk, luka, maupun bahagia. Rumahku adalah diriku, dan itu tempat pulang yang tak pernah hilang.


Aku berhenti sejenak setelah menulis ini, dan aku tersenyum sendiri. Rasanya lega, meski aku tahu perjalanan ini nggak akan pernah benar-benar selesai. Tapi justru di situlah indahnya. Karena rumah dalam diriku ini akan selalu tumbuh, berubah, dan menyesuaikan. Sama seperti aku, yang masih terus belajar, jatuh, bangkit, lalu pulang lagi.

Dan aku rasa, selama aku punya rumah ini, aku nggak akan pernah benar-benar sendirian.

Posting Komentar