SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Mengapa Kita Terus Mengulangi Pola Lama? Senandika #1

Pernahkah kamu merasa terjebak dalam kebiasaan yang tidak sehat? Kenali mengapa kita mengulangi pola lama dan temukan cara untuk memutus rantainya.

Aku duduk di sini, menatap layar yang kosong. Rasanya seperti menatap cermin. Bukan untuk melihat wajahku, tapi untuk melihat polaku. Pola-pola yang terus berulang, tak peduli seberapa keras aku berusaha menghindarinya.

Pernahkah kamu merasakan hal yang sama? Pagi ini, misalnya. Alarm berbunyi. Aku sudah membuat janji dengan diriku sendiri. "Bangun, segera. Ada banyak hal yang menunggumu." Tapi entah kenapa, tanganku bergerak sendiri. Menekan tombol tunda. Dan aku kembali menarik selimut. Satu, dua, tiga kali. Sampai akhirnya aku bangun dengan rasa bersalah yang akrab, yang sudah menjadi teman lamaku.

Ini bukan hanya tentang bangun pagi. Ini tentang pola-pola besar dalam hidup. Pola yang membuat kita kembali ke hubungan yang tidak sehat, meskipun kita tahu itu akan menyakitkan. Pola yang membuat kita berkata 'iya' padahal ingin sekali berkata 'tidak'. Pola yang membuat kita menunda pekerjaan penting sampai detik terakhir, lalu panik dan menyalahkan diri sendiri.

Aneh, bukan? Kita adalah makhluk yang cerdas. Kita membaca buku motivasi. Kita mendengarkan podcast tentang pertumbuhan diri. Kita tahu persis apa yang seharusnya kita lakukan. Tapi kenapa, saat momen itu datang, kita justru melakukan kebalikannya?

Aku sering bertanya pada diriku, "Ada apa denganmu? Kenapa kamu begitu keras kepala?"

Aku dulu berpikir ini soal disiplin. Soal kemauan yang lemah. Tapi rasanya lebih dalam dari itu.

Ini seperti ada sebuah 'peta lama' di dalam diriku. Sebuah peta yang dibuat bertahun-tahun lalu, saat aku masih kecil, saat aku tidak punya banyak pilihan. Peta itu menunjukkan jalur-jalur yang paling aman, yang paling mudah, yang paling dikenal. Jalur tol yang sudah mulus, meskipun jalannya memutar.

Jalur tol itu bisa berupa "menghindari konflik", "menyenangkan semua orang", atau "lari dari masalah". Otakku, yang tugasnya adalah menghemat energi dan membuatku tetap aman, akan selalu memilih jalur tol itu. Bahkan jika jalur itu pada akhirnya membawaku ke tempat yang tidak aku inginkan.

Aku berpikir tentang itu, tentang peta lama ini. Dulu, saat aku sering merasa tidak didengar, aku belajar untuk diam. Pola diam itu menjadi jalur tolku. Sekarang, saat aku dewasa dan punya hak untuk bersuara, aku tetap kesulitan untuk berbicara. Aku masih memilih jalur yang lama, karena itu yang paling aku tahu.

Aku melihat diriku yang menunda pekerjaan. Dulu, mungkin menunda adalah cara untuk menghindari rasa cemas akan kegagalan. Menunda membuatku merasa punya kendali. Sekarang, meskipun aku tahu penundaan akan membawa stres, pola itu tetap kuat. Otakku berbisik, "Tunda saja, kamu bisa mengerjakannya nanti. Tenang saja." Dan aku, dengan bodohnya, percaya.

Pola ini bukan musuh. Pola ini adalah sisa-sisa diri kita yang mencoba bertahan di masa lalu. Ia adalah jejak dari pengalaman, ketakutan, dan luka yang pernah kita rasakan. Ia adalah pengingat bahwa di masa lalu, kita pernah butuh cara itu untuk melanjutkan hidup.

Tapi, hari ini berbeda. Keadaan sudah berubah. Dan aku sudah tidak butuh lagi peta lama itu.

Aku duduk di sini, dengan hening yang melingkupiku. Aku menutup mata dan membayangkan sebuah ruangan di dalam diriku. Ruangan itu penuh dengan peta-peta lama yang kusimpan. Ada peta hubungan, peta kebiasaan, peta pikiran. Mereka semua digulung rapi, tapi sangat usang.

Tugasku sekarang bukan membakar peta-peta itu. Itu terlalu brutal. Tugas pertamaku adalah menyadarinya. Mengeluarkannya satu per satu, membentangkannya, dan melihatnya tanpa menghakimi. Aku melihat peta yang berisi jalan-jalan menuju kecemasan, ke jalan yang membuatku selalu merasa tidak cukup baik, ke jalan yang membuatku ingin terus menyenangkan semua orang.

Aku melihatnya, dan aku tidak berkata, "Kenapa kamu begitu bodoh?" Aku berkata, "Oh, ini dia. Ini adalah peta yang pernah membantuku bertahan. Terima kasih."

Kesadaran ini adalah langkah paling sulit, sekaligus paling membebaskan. Karena selama ini, aku menganggap peta itu sebagai bagian dari diriku. "Ya, memang aku orangnya penunda." "Aku memang orangnya gampang panik." Aku mengidentifikasi diriku dengan polaku. Dan itu adalah jebakan terbesar.

Saat aku bisa melihat pola itu sebagai sesuatu yang terpisah dari diriku, seperti sebuah benda yang bisa aku pegang, aku mulai punya kuasa. Aku bukan lagi "si penunda", aku adalah "aku" yang memiliki kebiasaan menunda. Ada perbedaan besar di sana.

Aku mulai bertanya pada diriku, "Apa yang kamu rasakan saat ingin menunda pekerjaan itu?" Dan jawabannya datang. Rasa takut. Takut gagal. Takut kalau hasilnya tidak sempurna. "Lalu, apa yang kamu rasakan saat kamu kembali ke hubungan yang tidak sehat itu?" Rasa takut. Takut sendirian. Takut tidak ada yang mencintai. "Dan apa yang kamu rasakan saat kamu menekan tombol tunda itu?" Rasa takut. Takut menghadapi hari yang berat. Takut memulai.

Ternyata, di balik setiap pola yang berulang, ada satu emosi yang mendasar: ketakutan. Pola adalah cara kita menghindari rasa takut. Kita memilih penderitaan yang akrab daripada ketidakpastian yang menakutkan. Kita memilih jalan yang sudah kita tahu ujungnya, meskipun ujungnya adalah jurang.

Dan itu manusiawi. Sangat manusiawi.

Tapi sekarang, aku tidak ingin hanya menjadi manusia yang bertahan. Aku ingin menjadi manusia yang berkembang.

Lalu, bagaimana caranya? Jika peta lama begitu kuat, bagaimana cara membuat jalan baru?

Aku sadar, aku tidak bisa hanya melawan. Aku tidak bisa berkata pada diriku, "Jangan menunda!" Aku tidak bisa hanya memaksa. Itu seperti berteriak di tengah badai. Tidak akan ada yang mendengarkan.

Aku harus menjadi seorang pelaut yang bijak. Aku tidak bisa mengendalikan badai, tapi aku bisa menyesuaikan layarku.

Langkah pertamaku adalah menerima. Menerima bahwa aku adalah makhluk yang penuh ketakutan. Bahwa aku memiliki pola-pola yang terbentuk dari luka. Tidak ada yang salah dengan itu. Ini adalah bagian dari perjalanan.

Aku mulai mencoba praktik baru. Praktik yang sangat sederhana, tapi mendalam. Setiap kali aku merasa dorongan untuk mengulangi pola lama, aku tidak langsung bertindak. Aku hanya berhenti. Hanya satu tarikan napas. Hanya satu jeda.

Aku menyebutnya 'titik hening'. Di titik hening itu, aku hanya menjadi saksi. Aku tidak menghakimi. Aku hanya mengamati. Aku mengamati dorongan untuk menunda itu datang, mengamati rasa cemas yang menyertainya. Aku tidak perlu bertindak. Aku hanya perlu melihatnya.

Awalnya sulit. Rasanya seperti ada tangan tak terlihat yang menarikku kembali. Tapi seiring waktu, titik hening itu menjadi lebih nyaman. Aku mulai merasa punya pilihan. Aku tidak lagi menjadi budak dari doronganku. Aku adalah pemilik dari jeda itu.

Kemudian, di titik hening itu, aku mulai bertanya pada diriku, "Jika aku punya pilihan lain, apa yang akan kulakukan?"

Dan jawaban-jawaban itu datang. Seringkali jawabannya tidak dramatis. Bukan, "Aku akan langsung mengerjakan semua pekerjaanku dalam satu jam." Tapi, "Aku akan membuka laptopku, dan hanya menulis satu kalimat. Satu saja." Atau, "Aku akan mengambil ponselku, dan hanya membaca satu pesan saja."

Dan aku melakukannya. Satu kalimat. Satu pesan. Satu langkah kecil yang terasa seperti menembus tembok yang tebal. Rasanya sangat menantang. Tapi setelah melakukannya, aku merasakan sedikit rasa bangga yang hangat di dadaku. Itu adalah tanda. Tanda bahwa aku sedang membuat jalur baru.

Jalur baru ini terasa canggung di awal. Seperti berjalan di atas rumput liar. Berbeda dengan jalur tol yang mulus. Tapi aku tahu, jika aku terus berjalan di jalur ini, setiap langkah akan membuatnya lebih jelas. Rumput-rumput itu akan tumbang, dan tanahnya akan mengeras. Akhirnya, ia akan menjadi jalur tol baruku. Jalur yang membawaku ke tempat yang aku inginkan. Tempat yang lebih sehat. Tempat yang lebih bahagia.

Dan aku juga belajar satu hal yang sangat penting. Memaafkan diri.

Saat aku gagal, saat aku kembali ke pola lama, aku tidak lagi berteriak pada diriku. Aku hanya berkata, "Tidak apa-apa. Kamu sudah berusaha. Mari kita coba lagi."

Ini bukan tentang menjadi sempurna. Ini tentang menjadi manusia. Dan manusia itu jatuh, berulang kali. Yang membedakan adalah, manusia yang belajar akan bangkit, mengibaskan debu, dan kembali melangkah.

Aku mulai menyadari, hidup ini bukan tentang menghapus masa lalu. Tapi tentang menggunakan masa lalu sebagai peta untuk membuat masa depan yang lebih baik.

Jadi, sekarang, setiap kali aku duduk di sini, menatap layar yang kosong, aku tidak lagi merasa putus asa. Aku melihat diriku. Aku melihat semua pola. Dan aku tersenyum. Karena aku tahu, hari ini, aku punya pilihan. Dan itu adalah anugerah terbesar dalam hidup.

Aku bukan lagi budak dari pola-polaku. Aku adalah penjelajah dari diriku sendiri. Dan perjalanan ini, baru saja dimulai.

Posting Komentar