SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Mengurai Benang Kusut di Kepala: Belajar Melepaskan Kendali - Senandika #18

Pikiran yang kusut sering bikin hidup terasa berat. Dalam perjalanan ini, aku belajar bahwa melepaskan kendali bukan berarti menyerah, tapi menemukan
Mengurai Benang Kusut di Kepala: Belajar Melepaskan Kendali - Senandika #18

Pernah nggak sih kamu merasa kepalamu penuh banget, kayak ada benang kusut yang nggak ketahuan ujung pangkalnya? Aku sering. Rasanya kayak ada ribuan tab di browser yang semuanya terbuka sekaligus, dan entah kenapa semua auto-play musik sendiri. Bising, ruwet, dan bikin aku pengen pencet tombol shut down aja.

Lucunya, benang kusut di kepala itu sering muncul justru saat aku lagi pengen santai. Misalnya, pas rebahan malam hari, harusnya waktunya istirahat, tapi malah sibuk mikirin “Besok kalau bos marah gimana ya?”, “Tadi salah ngomong nggak sih sama temen?”, atau “Kenapa lampu kamar rasanya lebih terang dari biasanya?” Otak ini suka banget bikin drama sendiri, tanpa perlu sponsor.

Awalnya aku kira, satu-satunya cara mengatasi ini adalah dengan mengendalikan semuanya. Jadi aku bikin rencana detail, catatan harian, to-do list, bahkan sampai list cadangan. Semua aku atur, semua harus sesuai ekspektasi. Kalau ada hal kecil melenceng, aku bisa bete seharian. Hidupku terasa kayak pertandingan yang nggak boleh ada kesalahan.

Tapi semakin aku coba mengendalikan, semakin benang itu kusut. Semakin keras aku tarik, semakin sakit kepala yang kurasa. Sampai akhirnya aku capek sendiri. Aku sadar, ternyata masalahnya bukan di hidup yang berantakan, tapi di aku yang nggak bisa terima kalau hidup memang nggak bisa sepenuhnya aku kendalikan.

Di titik itu, aku mulai belajar melepaskan kendali. Jangan salah, ini bukan berarti pasrah total atau menyerah, tapi lebih ke menerima bahwa nggak semua hal bisa aku atur. Kadang hidup punya jalannya sendiri, dan aku harus belajar berdamai dengan itu.

Perlahan aku mulai coba teknik sederhana: berhenti melawan pikiran sendiri. Kalau kepalaku lagi rame, aku duduk, tarik napas, dan bilang ke diri sendiri, “Oke, otak lagi heboh, nggak apa-apa.” Aku biarkan pikiran itu datang, lalu pergi. Aneh, tapi dengan begitu benang kusut itu kadang mulai sedikit longgar.

Aku juga belajar menurunkan ekspektasi. Dulu aku pengen semua sempurna. Sekarang, aku lebih sering bilang, “Yang penting selesai dulu, bagus belakangan.” Dan ternyata, banyak hal jadi lebih ringan. Aku nggak lagi terlalu keras sama diri sendiri.

Melepaskan kendali juga berarti percaya sama orang lain. Aku terbiasa mikir, kalau aku nggak pegang kendali, semua bakal kacau. Tapi nyatanya, orang lain juga punya caranya sendiri. Dan kadang, hasilnya malah lebih baik daripada kalau aku yang atur.

Aku ingat satu momen lucu: waktu aku coba masak bareng temen. Aku pengen semua sesuai resep, dia malah asal campur bahan. Aku hampir protes, tapi aku tahan. Eh, ternyata hasilnya enak juga. Dari situ aku sadar, kadang chaos itu nggak selalu buruk. Ada kalanya, dari sesuatu yang nggak aku rencanakan, lahir hal-hal yang menyenangkan.

Sekarang, aku nggak bilang hidupku jadi mulus. Benang kusut masih ada, tab-tab di kepalaku masih suka auto-play sendiri. Tapi setidaknya aku nggak lagi sibuk tarik-menarik benang itu sampai bikin aku frustrasi. Aku belajar untuk pelan-pelan mengurai, dan kalau nggak bisa, ya aku taruh dulu. Nanti juga bisa dilihat lagi.

Melepaskan kendali itu ternyata tentang memberi ruang buat hidup berjalan apa adanya. Tentang percaya bahwa aku nggak harus jadi sutradara untuk semua adegan. Dan ketika aku bisa melakukannya, rasanya seperti ada beban yang jatuh. Aku bisa bernapas lebih lega, tidur lebih nyenyak, dan yang terpenting, aku bisa lebih menikmati momen yang sedang terjadi.

Aku masih dalam perjalanan. Kadang aku tergoda untuk kembali jadi si perfeksionis yang mau semua sesuai skenario. Tapi sekarang aku tahu, kalau benang kusut itu nggak harus langsung rapi. Kadang justru di kusutnya itu aku belajar sabar, belajar ikhlas, dan belajar bahwa hidup nggak harus sempurna untuk bisa aku nikmati.

Posting Komentar