SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Perjalanan Mengobati Inner Child - Senandika #13

Aku bercerita tentang perjalanan panjang dan berliku mengobati inner child, bagian kecil dalam diriku yang pernah terluka, yang ternyata masih hidup
Perjalanan Mengobati Inner Child - Senandika #13

Kalau dipikir-pikir, lucu juga ya. Aku ini udah berusia tiga puluhan, udah bisa cari makan sendiri, bahkan bisa kasih nasihat ke teman yang lagi galau. Tapi anehnya, ada kalanya aku bisa nangis cuma gara-gara ditinggal jawab chat seharian. Atau marah besar karena orang ngomongnya agak ketus. Logikanya bilang itu hal kecil, tapi rasanya kayak dipukul keras di dada. Dari situ aku mulai curiga, kayaknya ada sesuatu yang nggak beres di dalam diriku.

Lama-lama aku ketemu satu istilah: inner child. Awalnya kupikir ini cuma bahasa keren anak-anak healing, tapi ternyata masuk akal. Inner child itu bukan sosok gaib atau istilah puitis doang, melainkan sisi kecil dalam diriku yang terbentuk sejak masa kanak-kanak. Ada luka yang belum selesai, ada tangis yang dulu ditahan, ada rasa sepi yang nggak pernah sempat diungkap. Dan anehnya, semua itu masih menempel, masih aktif, masih bisa bikin aku kocar-kacir sampai sekarang.

Aku mulai sadar kalau inner child-ku terluka ketika aku perhatikan betapa gampangnya aku bereaksi berlebihan. Seseorang lupa ngajak nongkrong, aku langsung merasa ditolak. Nada suara sedikit keras, aku merasa dibenci. Satu kesalahan kecil di kantor bisa bikin aku kepikiran seminggu penuh. Reaksi-reaksi itu bukan soal momen sekarang, tapi soal memori lama yang nggak pernah sembuh. Rasanya seperti ada anak kecil di dalam dada, nangis keras-keras, minta diperhatikan.

Sejak itu, aku mulai perjalanan panjang. Nggak ada petanya, nggak ada GPS, hanya ada langkah kecil yang aku coba lakukan setiap hari. Pertama, aku harus mengakui keberadaan inner child itu sendiri. Aku berhenti berpura-pura kuat. Aku berhenti bilang, “Aku baik-baik saja.” Aku belajar bilang ke diri sendiri, “Oke, aku memang terluka. Dan nggak apa-apa.”

Awalnya berat banget. Rasanya malu mengaku kalau aku masih tersakiti oleh masa lalu. Tapi semakin kutolak, semakin keras dia berteriak. Jadi aku belajar mendengarkan. Kadang aku nulis surat untuk diriku yang kecil, bilang, “Kamu nggak salah, kamu cuma butuh ditemenin.” Kadang aku benar-benar ngomong sendiri di kamar, meski kedengarannya konyol, tapi justru di situ aku merasa ada yang lega.

Aku juga mulai kasih ruang untuk diriku merasakan emosi. Kalau lagi pengin nangis, aku biarin aja nangis. Kalau lagi kesal, aku tulis semua di jurnal. Dulu aku selalu marah ke diri sendiri kalau terlihat lemah, tapi sekarang aku tahu bahwa itu bagian dari proses. Inner child butuh ruang, bukan penjara.

Ada hal-hal kecil yang ternyata membantu juga. Makan es krim di sore hari, nonton ulang film kartun yang dulu kusuka, tidur siang tanpa rasa bersalah. Hal-hal sepele itu, ternyata seperti hadiah kecil yang aku berikan ke diriku yang dulu nggak sempat bahagia. Rasanya seperti bilang ke anak kecil di dalam diriku, “Kita boleh senang, kita aman sekarang.”

Tapi ya, jangan bayangkan semua ini indah dan mulus. Ada hari-hari di mana aku merasa udah sembuh, tapi besoknya balik lagi nangis gara-gara dipicu sesuatu. Ada hari-hari di mana aku penuh semangat, tapi tiba-tiba ingatan lama muncul begitu saja dan bikin hancur mood seharian. Dan di momen itu aku sadar, perjalanan ini bukan tentang garis lurus menuju sembuh. Ini lebih kayak jalan berliku, kadang naik, kadang turun, kadang berhenti di tengah untuk tarik napas.

Paling susah buatku adalah belajar bicara lembut ke diri sendiri. Aku terbiasa keras, terbiasa menyalahkan. Tapi sekarang aku belajar bilang, “Kamu udah berusaha. Itu cukup.” Sederhana, tapi efeknya besar. Aku merasa lebih manusiawi, lebih diterima, bahkan oleh diriku sendiri.

Aku juga berhenti melihat inner child sebagai musuh. Dulu aku pikir dia masalah yang harus dihilangkan. Sekarang aku tahu dia cuma bagian kecil dariku yang minta ditemani. Dia yang mengingatkan aku pada luka, iya. Tapi dia juga yang mengingatkan aku pada kebahagiaan kecil—kayak main hujan waktu kecil, atau ketawa gara-gara hal receh. Jadi aku memilih berdamai. Kadang aku bayangkan menggandeng tangannya, sambil bilang, “Yuk, kita jalan bareng. Aku jagain kamu.”

Dan begitulah, perjalanan ini masih panjang. Mungkin nggak akan pernah benar-benar selesai. Tapi aku merasa setiap langkah kecil berarti. Setiap air mata, setiap senyum, setiap upaya untuk lebih lembut sama diri sendiri, itu semua adalah bagian dari penyembuhan.

Aku nggak lagi jatuh sendirian. Karena ada aku yang sekarang, yang siap nemenin aku yang dulu. Dan ternyata, itu sudah lebih dari cukup.

Posting Komentar