SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Saat Dunia Tak Mengerti, Aku Harus Mengerti Diriku Sendiri - Senandika #15

Sebuah renungan personal tentang pentingnya memahami diri sendiri ketika dunia terasa asing dan tidak memberi ruang untuk dimengerti.

Kadang aku merasa seperti orang asing di rumah sendiri. Aneh ya, padahal tempatnya sama, orang-orangnya juga itu-itu saja, tapi entah kenapa aku merasa tidak benar-benar dimengerti. Pernah nggak kamu merasakan hal yang sama? Rasanya seperti semua orang punya kamus tersendiri untuk menerjemahkan siapa dirimu, tapi tak ada satu pun yang akurat. Orang menilai dari apa yang tampak, dari ucapan yang sepotong-sepotong, dari tingkah laku sesaat. Padahal yang ada di dalam kepala dan hati ini, nggak pernah benar-benar mereka tanyakan.

Dulu aku sering marah. Kesal kenapa orang lain nggak bisa paham. Kenapa harus aku yang selalu salah tafsir? Tapi lama-lama aku sadar, menuntut orang lain untuk selalu mengerti itu sama saja seperti berharap hujan turun hanya di halaman rumahku sementara tetangga tetap cerah. Mustahil. Dan aku capek berharap. Sampai akhirnya aku berpikir, kalau dunia nggak mengerti aku, mungkin sudah saatnya aku sendiri yang lebih dulu mengerti diriku.

Aku mulai pelan-pelan. Tidak langsung berhasil, tentu saja. Ada hari-hari di mana aku kembali mengeluh, merasa sendirian, merasa jadi korban salah paham. Tapi kemudian aku belajar, mengerti diri sendiri itu bukan proyek sekali jadi. Itu perjalanan panjang. Kadang aku jatuh, kadang aku ragu, tapi sedikit demi sedikit aku belajar.

Aku coba mendengar apa yang sebenarnya aku butuhkan. Misalnya, dulu aku sering memaksakan diri ikut semua kegiatan, nongkrong sana-sini, seolah-olah dengan begitu aku bisa dianggap bagian dari lingkaran. Tapi anehnya, sepulang dari situ, aku merasa makin kosong. Sampai aku sadar, ternyata aku butuh waktu sendiri lebih banyak daripada yang aku kira. Aku bukan anti-sosial, aku cuma lebih tenang ketika punya ruang untuk bernafas. Dan itu bukan salahku. Itu cuma cara tubuh dan jiwaku menjaga keseimbangannya.

Mengerti diri sendiri juga berarti berani jujur tentang luka yang kubawa. Aku nggak bisa lagi menutupi semua dengan senyum atau candaan. Kadang aku harus bilang pada diri sendiri, “Hei, kamu lagi sedih ya? Kamu kecewa ya?” Karena kalau aku pura-pura nggak terjadi apa-apa, luka itu malah makin dalam. Mengerti diri sendiri artinya memberi izin pada hati untuk menangis, marah, bahkan kecewa, tanpa merasa harus buru-buru baik-baik saja demi dilihat kuat oleh orang lain.

Yang menarik, ketika aku mulai belajar mengerti diriku, aku justru menemukan cara untuk lebih sabar pada orang lain. Aku tahu rasanya nggak dipahami, maka aku mencoba lebih mendengar. Aku tahu sakitnya disalahartikan, maka aku berhenti cepat-cepat memberi label pada orang. Ternyata, semakin aku paham siapa diriku, semakin aku bisa melihat orang lain dengan kacamata yang lebih luas.

Kadang, ada suara kecil di kepala yang bilang, “Kamu aneh, kamu terlalu berbeda.” Dulu aku benci suara itu. Tapi sekarang aku tersenyum. Kalau berbeda adalah caraku untuk tetap utuh, ya sudah, biarkan saja. Dunia nggak harus mengerti alasan di balik setiap pilihanku. Yang penting aku tahu kenapa aku memilihnya.

Mengerti diri sendiri itu ibarat jadi sahabat paling setia. Ada masa di mana orang-orang datang dan pergi, ada masa di mana perhatian mereka terbagi pada hal-hal lain. Tapi diriku? Dia selalu ada, menunggu untuk didengarkan. Rasanya jadi lucu, betapa lama aku mengabaikannya hanya demi dikejar pengakuan dari luar.

Ada satu momen yang nggak bisa kulupa. Malam itu aku sendirian di kamar, lampu sudah padam, dan hanya ada cahaya kecil dari layar ponsel. Aku merasa sepi, nggak ada satu pun chat yang benar-benar membuatku hangat. Di situlah aku sadar: seberapa pun banyak orang di luar sana, kalau aku sendiri nggak mau menemani diriku, aku akan tetap hampa. Dari situlah aku mulai menulis, entah catatan harian, entah coretan tak jelas. Tapi menulis membuatku merasa diriku bicara, dan akhirnya aku mendengarkan.

Mengerti diri sendiri bukan berarti berhenti mencari teman atau menutup diri dari dunia. Bukan. Aku tetap ingin berhubungan, tetap ingin punya relasi yang sehat. Tapi aku nggak lagi memaksa semua orang harus tahu semua sisi diriku. Aku belajar membedakan siapa yang memang bisa kudekatkan, siapa yang cukup kutemui di permukaan saja. Dan aku nggak merasa bersalah lagi. Itu bukan berarti aku egois, itu hanya cara sehat untuk menjaga energi.

Aku juga belajar memaafkan diriku. Wah, ini bagian yang paling sulit. Karena jujur saja, aku lebih sering keras pada diriku sendiri daripada pada orang lain. Kalau orang lain salah, aku bisa maklum. Tapi kalau aku salah, aku bisa menghakimi habis-habisan. Padahal, aku juga manusia. Dan justru karena aku manusia, aku butuh dipahami, butuh dimaafkan.

Kini, ketika dunia terasa nggak mengerti, aku sudah nggak buru-buru panik. Aku tarik nafas, aku duduk, lalu aku bertanya: “Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu butuhkan?” Kadang jawabannya simpel: istirahat. Kadang rumit: butuh kehangatan, butuh rasa aman. Apapun itu, aku coba beri ruang.

Lucunya, ketika aku makin mengerti diriku, aku jadi lebih menikmati kesendirian. Aku bisa duduk berjam-jam dengan secangkir kopi, melihat hujan jatuh, tanpa merasa kesepian. Aku bisa jalan sendiri ke tempat baru, dan merasa damai. Aku bisa menertawakan diriku yang kikuk, lalu bilang, “Nggak apa-apa, namanya juga hidup.”

Jadi ya, kalau sekarang aku ditanya, apa artinya dimengerti dunia? Jawabanku: itu bonus. Yang utama adalah aku bisa mengerti diriku sendiri. Karena kalau aku bisa berdamai dengan diriku, aku nggak lagi takut dunia salah paham.

Dan mungkin, justru saat aku benar-benar mengerti diriku, perlahan orang lain akan ikut mengerti. Kalau pun tidak, setidaknya aku tidak lagi merasa hampa. Karena aku sudah punya teman terbaik—diriku sendiri.

Posting Komentar