Ada satu kebiasaan kecil yang sering aku lupakan: duduk diam dan benar-benar mendengarkan diriku sendiri. Rasanya sepele ya? Tapi ternyata, itu salah satu seni hidup yang paling sulit kulakukan. Ironis banget, aku bisa betah mendengarkan orang lain curhat berjam-jam, tapi ketika diriku sendiri yang ingin bicara, aku malah pura-pura nggak dengar.
Aku baru sadar betapa pentingnya mendengarkan diri sendiri ketika hidup mulai terasa kayak konser dangdut di alun-alun: berisik, penuh suara tumpang tindih, dan aku sendiri nggak tahu lagi harus fokus ke mana.
Dunia yang Terlalu Bising
Pernah nggak sih kamu merasa kayak semua orang di sekitar punya suara keras, sementara suaramu sendiri tenggelam? Media sosial teriak-teriak, berita di TV penuh drama, temen kantor minta ini-itu, keluarga punya ekspektasi, bahkan iklan di YouTube pun maksa kita buat beli sesuatu.
Aku sering merasa kayak hidup di tengah pasar malam, di mana musik dangdut, teriakan penjual, dan suara mainan anak-anak campur jadi satu. Seru sih, tapi lama-lama bikin pusing.
Di tengah semua kebisingan itu, suara kecil dalam diriku yang biasanya lembut, jadi makin nggak kedengaran. Suara itu kayak bisikan: “Hei, kamu capek, istirahat dulu.” atau “Kamu sebenarnya sedih, tapi kenapa pura-pura ketawa?” Sayangnya, sering aku abaikan.
Belajar Mendengar dengan Sungguh-Sungguh
Mendengarkan diri sendiri ternyata butuh latihan. Kayak belajar main gitar, awalnya sumbang, lama-lama bisa lebih enak didengar.
Aku mulai dengan hal-hal sederhana. Misalnya, ketika bangun pagi, aku coba tanya: “Hari ini kamu butuh apa?” Jawabannya macam-macam. Kadang cuma butuh segelas kopi tanpa gangguan, kadang butuh olahraga biar badan nggak kaku, kadang butuh tidur lagi karena semalam begadang nonton drama Korea (ya, salahku juga).
Ada kalanya jawabannya lebih dalam: “Kamu butuh berhenti membandingkan diri dengan orang lain.” atau “Kamu butuh berhenti ngejar validasi yang nggak pernah cukup.” Nah, ini biasanya bikin aku diem lama, karena aku tahu jawabannya benar, tapi sulit diakui.
Antara Suara Hati dan Suara Ego
Yang bikin ribet, suara hati dan suara ego sering nyamar. Ego suka bilang, “Ayo kerja lebih keras, biar bisa dianggap hebat.” Sementara hati kecilku pelan-pelan bilang, “Aku capek, boleh nggak kita istirahat sebentar?”
Aku sering terjebak di antara dua suara ini. Ego selalu pakai nada keras, penuh ambisi, kayak sales asuransi yang nggak mau kalah. Sedangkan hati kecil lebih lembut, kadang bahkan malu-malu. Butuh keberanian buat benar-benar berhenti dan bilang: “Oke, kali ini aku pilih dengar suara hati.”
Waktu Aku Nggak Mau Mendengarkan
Ada periode dalam hidupku ketika aku benar-benar keras kepala. Aku abaikan semua tanda tubuh dan pikiran. Badan udah kasih sinyal lelah, aku tetap maksain lembur. Hati udah bilang sedih, aku tetap pura-pura bahagia di depan orang. Sampai akhirnya, aku tumbang.
Bukan cuma fisik yang protes, tapi mental juga ikut ambruk. Rasanya kayak komputer yang kebanyakan tab Chrome kebuka sekaligus, akhirnya nge-hang. Saat itu baru aku sadar, mendengarkan diri sendiri bukan pilihan manja, tapi kebutuhan dasar.
Mendengarkan Diri Lewat Diam
Diam itu nggak selalu kosong. Kadang, diam justru ruang paling jujur buat mendengar.
Aku mulai membiasakan diri buat duduk sendirian tanpa musik, tanpa HP, tanpa distraksi. Awalnya canggung banget. Lima menit pertama aku udah gelisah, tangan gatal pengen buka notifikasi. Tapi pelan-pelan, aku belajar menikmati.
Dalam diam, suara kecil yang biasanya ketutup mulai muncul lagi. Aku bisa benar-benar dengar isi pikiranku tanpa filter. Kadang lucu, kadang bikin nangis, tapi selalu ada sesuatu yang berharga di situ.
Mendengarkan Diri Lewat Menulis
Selain diam, aku juga nemuin cara lain: menulis. Bukan menulis buat dipublikasikan, tapi menulis seenaknya, kayak ngobrol sama diri sendiri.
Kadang tulisanku penuh keluhan: “Kenapa hidup begini banget sih?” Kadang penuh syukur: “Eh, ternyata banyak juga yang bisa bikin aku senyum hari ini.” Yang penting, aku kasih ruang buat diriku bersuara tanpa takut dihakimi.
Dan anehnya, setiap selesai menulis, aku merasa lebih ringan. Kayak habis ngobrol sama sahabat yang benar-benar ngerti.
Seni Mendengarkan Diri Itu Membebaskan
Semakin sering aku mendengarkan diriku sendiri, semakin aku paham kalau banyak keputusan bodoh di masa lalu terjadi karena aku nggak mau dengar suara batin.
Aku maksa bertahan di hubungan yang jelas-jelas toxic karena takut sendirian. Aku ambil pekerjaan yang nggak kusuka cuma karena gengsi. Aku pura-pura bahagia padahal jelas-jelas hatiku teriak minta tolong. Semua karena aku lebih memilih dengar suara orang lain ketimbang suara sendiri.
Sekarang, aku mulai belajar membalikkan. Nggak semua suara orang harus kudengar, tapi suara hatiku jangan sampai kuabaikan.
Humor Kecil di Tengah Seriusnya Hidup
Kadang aku suka ketawa sendiri kalau lagi refleksi. Misalnya, aku baru sadar kalau tubuhku sering kasih kode keras, tapi aku abaikan. Kayak waktu tiba-tiba sariawan tiga sekaligus. Itu tubuh udah bilang, “Bro, tolong minum air putih, jangan es kopi mulu.” Atau waktu tiba-tiba jatuh sakit pas lagi libur panjang. Itu tanda tubuh ngambek, karena aku nggak pernah kasih dia waktu rehat.
Ternyata, mendengarkan diri sendiri itu kadang nggak butuh filosofi rumit. Cukup peka sama tanda-tanda kecil, yang sering malah kita bikin bahan bercanda.
Penutup: Suara yang Paling Berharga
Pada akhirnya, aku sadar: seni mendengarkan diri sendiri bukan sekadar latihan spiritual atau gaya hidup. Ini soal bertahan. Soal bagaimana aku bisa hidup dengan lebih jujur dan lebih ringan.
Mendengarkan diri sendiri artinya aku menghargai perasaanku, kebutuhanku, juga batas-batasku. Bukan berarti aku egois, tapi justru karena aku ingin punya energi untuk tetap hadir, baik untuk diriku maupun orang lain.
Sekarang, kalau dunia mulai terlalu bising, aku belajar untuk menutup telinga sejenak, duduk tenang, dan bertanya: “Apa kabar, diriku? Kamu butuh apa hari ini?”
Jawaban yang datang mungkin sederhana, tapi justru itu yang paling jujur.
Dan aku rasa, mendengarkan diri sendiri adalah salah satu seni hidup yang paling indah.



Posting Komentar