SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Tentang Luka yang Tak Terlihat: Menyembuhkan Diri dari Dalam - Senandika #16

Luka tak selalu tampak di permukaan. Artikel ini bercerita tentang perjalanan menyembuhkan diri dari dalam, menerima luka batin, dan berdamai dengan..
Tentang Luka yang Tak Terlihat: Menyembuhkan Diri dari Dalam - Senandika #16

Aku selalu percaya bahwa luka paling menyakitkan bukan yang terlihat, tapi yang tersembunyi jauh di dalam. Luka fisik bisa sembuh, ada bekasnya tapi kita bisa menunjukkannya, bisa cerita, “ini gara-gara jatuh” atau “ini bekas operasi.” Tapi luka batin? Ah, itu lebih rumit. Nggak kelihatan, nggak bisa difoto, dan sering kali bahkan nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Aku sendiri punya banyak luka seperti itu. Luka yang datang dari kata-kata orang, dari sikap yang dingin, dari kehilangan yang tiba-tiba. Luka-luka itu nggak pernah berdarah, tapi aku bisa merasakan perihnya setiap malam ketika semua jadi sepi. Kadang aku sampai bertanya-tanya, apa orang lain juga merasakan hal yang sama? Atau hanya aku yang terlalu sensitif?

Yang bikin rumit, luka dalam sering kali nggak dihitung serius oleh orang lain. Coba deh bilang ke orang, “Aku sedih karena ucapanmu kemarin.” Mereka bisa saja jawab, “Ah, cuma bercanda.” Tapi candaan itu bisa menancap, lama-lama jadi duri. Dan kita pun belajar diam, pura-pura nggak apa-apa, padahal hati kita nggak pernah benar-benar sembuh.

Aku dulu berpikir, menyembuhkan luka batin itu dengan cara sibuk. Kalau aku sibuk, aku nggak sempat mikirin luka itu. Aku isi hari dengan kerja, dengan nongkrong, dengan scroll media sosial. Dan benar, untuk sementara aku merasa nggak terlalu sakit. Tapi ketika malam datang, saat semua aktivitas berhenti, luka itu muncul lagi, malah lebih jelas. Ternyata sibuk cuma semacam plester sementara. Luka tetap ada di bawahnya.

Sampai akhirnya aku belajar pelan-pelan: menyembuhkan diri dari dalam itu bukan soal lari, tapi soal berhenti dan menatap. Menatap luka itu dengan jujur. Rasanya menakutkan, jujur aja. Siapa sih yang mau menatap rasa sakit? Tapi justru dengan menatap, aku mulai bisa mengenali: oh, ini asalnya dari mana. Oh, ini kenapa masih nyisa sampai sekarang.

Ada luka karena kehilangan orang tercinta. Aku sempat menolak kenyataan, berpura-pura kuat. Tapi makin aku menyangkal, makin dalam luka itu. Baru ketika aku duduk sendiri, nangis sampai capek, aku sadar: aku perlu mengakui bahwa aku kehilangan, bahwa aku rapuh. Dan dari situ, sedikit demi sedikit, aku bisa belajar merelakan.

Ada juga luka karena merasa tidak cukup. Aku sering membandingkan diriku dengan orang lain. Melihat teman yang lebih sukses, lebih bahagia, lebih lengkap. Aku iri, aku merasa gagal. Itu juga luka, tapi nggak kelihatan. Dan aku butuh waktu lama untuk sadar, bahwa rasa “tidak cukup” itu datang dari standar yang aku taruh terlalu tinggi buat diriku sendiri. Aku belajar bilang ke diriku, “Hei, kamu juga berharga meskipun nggak sempurna.” Kata-kata sederhana, tapi aku ulang berkali-kali sampai pelan-pelan masuk ke hati.

Yang paling sulit adalah memaafkan. Bukan cuma memaafkan orang lain, tapi juga memaafkan diri sendiri. Aku sering marah sama diriku sendiri: kenapa nggak bisa lebih cepat bangkit, kenapa gampang banget sakit hati, kenapa begini, kenapa begitu. Aku kejam pada diriku. Sampai akhirnya aku sadar, bagaimana mungkin aku bisa sembuh kalau aku sendiri yang terus menorehkan luka baru? Sejak itu aku mulai belajar lebih lembut. Kalau aku salah, aku bilang ke diri sendiri, “Nggak apa-apa, semua orang juga salah.” Kalau aku jatuh, aku bilang, “Nggak usah buru-buru, pelan aja.”

Menyembuhkan diri dari dalam juga berarti menjaga tubuh. Terdengar klise, tapi ternyata benar. Tidur cukup, makan yang layak, olahraga ringan, itu semua membantu. Karena tubuh yang lelah membuat hati makin rapuh. Dulu aku sering begadang, mengira dengan begitu aku bisa melupakan pikiran. Nyatanya, besoknya aku jadi makin kacau. Tubuhku protes, dan luka batin malah makin terasa.

Aku juga menemukan bahwa menulis membantu. Dengan menulis, aku bisa menuangkan semua rasa yang berputar di kepala. Kadang aku baca ulang tulisanku, dan aku terkejut: ternyata aku sedang sesakit itu ya. Dari situ aku bisa lebih paham diriku sendiri. Seperti bercermin, tapi lewat kata-kata.

Penyembuhan ini memang nggak cepat. Ada hari di mana aku merasa sudah jauh lebih baik, lalu tiba-tiba satu kenangan kecil bisa membuatku kembali menangis. Dulu aku marah, kenapa lukanya nggak benar-benar hilang? Tapi sekarang aku mengerti: luka batin itu seperti bekas luka fisik, dia mungkin nggak sepenuhnya hilang. Bekasnya tetap ada, tapi tidak lagi menyiksa. Dia menjadi bagian dari cerita, bukan lagi sumber rasa sakit.

Aku juga mulai berani cerita pada orang yang tepat. Nggak semua orang bisa dipercaya, tapi ada satu-dua orang yang benar-benar mau mendengar. Dan ketika aku membuka diri, ternyata itu melegakan. Rasanya seperti membagi beban, dan bebanku jadi lebih ringan. Kadang hanya dengan didengar tanpa dihakimi, aku sudah merasa lebih kuat.

Pelajaran terbesar dari perjalanan ini adalah: luka yang tak terlihat itu nyata, dan penyembuhannya butuh waktu. Nggak ada jalan pintas. Tapi selama aku mau jujur pada diri sendiri, mau sabar, dan mau menerima bahwa proses ini berliku, aku percaya luka itu bisa berubah jadi kekuatan.

Sekarang, kalau aku merasa sedih lagi, aku nggak buru-buru lari. Aku duduk, aku tarik napas, aku tanya pada diri sendiri, “Apa yang kamu butuhkan?” Kadang jawabannya sederhana: istirahat, pelukan, secangkir teh hangat. Dan aku belajar memberikannya.

Menyembuhkan diri dari dalam ternyata bukan tentang menghapus luka, tapi tentang berdamai dengannya. Membiarkan luka itu ada, tapi tidak lagi mendikte hidupku. Dan itu, menurutku, adalah salah satu bentuk keberanian terbesar yang bisa aku lakukan.

Posting Komentar