SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Bahagia yang Terselip di Hal-Hal Kecil - Senandika #26

Bahagia ternyata tidak selalu datang dari pencapaian besar. Dalam tulisan ini, aku bercerita tentang menemukan kebahagiaan sederhana di tengah...
Bahagia yang Terselip di Hal-Hal Kecil - Senandika #26

Kalau aku jujur sama diriku sendiri, ada masa-masa di mana aku selalu merasa bahagia itu sesuatu yang jauh, sesuatu yang harus aku kejar mati-matian. Kayak bahagia itu baru sah kalau aku sudah punya karier stabil, rumah sendiri, tabungan tebal, pasangan idaman, atau pencapaian yang bisa dipamerkan di media sosial. Rasanya seperti bahagia itu alamatnya ada di ujung jalan panjang, yang jalannya menanjak, berbatu, dan bikin ngos-ngosan.

Tapi semakin aku berjalan, semakin aku sadar, kadang bahagia itu justru nongkrong di pinggir jalan, di hal-hal kecil yang sering aku lewati tanpa sadar. Aku baru benar-benar ngerti kalau bahagia itu nggak harus megah. Kadang bahagia itu sederhana, bahkan absurd. Dan kalau aku jeli, aku bisa menemukannya setiap hari.


Misalnya, ada momen kecil setiap pagi yang selalu berhasil bikin aku tersenyum: aroma kopi yang baru diseduh. Aku nggak tahu kenapa, tapi ada sesuatu di dalam aroma kopi panas yang bikin dunia terasa lebih bersahabat. Padahal sebelum aku minum, aku biasanya masih setengah zombie. Tapi begitu aroma itu sampai ke hidungku, tiba-tiba mood-ku naik satu level.

Lalu, ada juga momen absurd seperti menemukan uang 10 ribuan di saku celana yang sudah lama nggak dipakai. Rasanya seperti nemu harta karun. Padahal kalau dipikir-pikir, uang segitu cuma bisa dipakai buat beli gorengan sama es teh manis. Tapi tetap saja, ada sensasi bahagia singkat yang muncul. Kayak semesta lagi bilang, “Ini bonus buat kamu yang rajin cuci celana.”


Bahagia kecil juga sering datang dari interaksi random dengan orang asing. Misalnya, aku pernah lagi bete di jalan, tiba-tiba ada anak kecil melambai ke arahku dari dalam mobil. Aku refleks melambai balik, dan entah kenapa, itu bikin hatiku hangat seharian. Atau ketika tukang parkir bilang, “Hati-hati ya mas,” dengan tulus. Rasanya sederhana, tapi bikin aku merasa lebih dilihat sebagai manusia.

Kadang aku berpikir, mungkin aku terlalu sering menunggu kembang api besar, padahal lilin kecil di depan mata juga bisa bikin ruangan cukup terang.


Bahagia juga sering muncul dari kebiasaan recehku sendiri. Aku suka banget momen ketika nyalain lagu lama favoritku, yang biasanya sudah terlupakan di playlist. Begitu nada pertamanya keluar, boom—langsung nostalgia, langsung mood booster. Kadang aku bisa joget sendiri di kamar, meski kalau ada yang lihat pasti bakal malu setengah mati. Tapi hei, siapa peduli? Bahagia itu bukan untuk pamer, tapi untuk dirasakan.

Ada juga momen kocak yang selalu bikin aku ngakak: ketika berhasil membuka bungkus makanan instan dengan sekali tarik tanpa sobek belepotan. Percaya nggak percaya, itu sensasinya kayak memenangkan medali emas di olimpiade versi dapur.


Yang lebih aneh lagi, kadang aku merasa bahagia ketika mencium bau hujan pertama setelah lama kemarau. Ada kesan magis di sana. Aku bisa berdiri lama di jendela hanya untuk menikmati suara air jatuh, tanah yang basah, dan aroma khas hujan yang nggak bisa digantikan apa pun.

Sampai-sampai aku pernah mikir, “Kenapa aku sering nyusahin diriku sendiri dengan standar bahagia yang ribet, padahal hujan aja bisa bikin aku senyum?”


Bahagia kecil itu juga sering datang dari orang-orang terdekat. Dari ibuku yang selalu ingatkan aku untuk makan, meski caranya kadang terdengar seperti “spam chat” yang nggak ada habisnya. Dari teman yang tiba-tiba mengirim meme absurd di tengah malam. Dari saudara jauh yang entah kenapa masih rajin komentar di foto-fotoku.

Aku jadi sadar, kebahagiaan itu bukan selalu soal grand gesture. Seringnya, ia tersembunyi di perhatian kecil yang kalau aku tidak awas, mudah sekali aku abaikan.


Tentu, aku nggak menolak bahagia besar. Siapa sih yang nggak mau naik gaji, punya pasangan ideal, atau liburan ke luar negeri? Tapi aku nggak lagi mau menggantungkan definisi bahagia hanya pada hal-hal besar itu. Karena kalau begitu, aku bisa menunggu bertahun-tahun tanpa pernah merasa cukup.

Bayangkan kalau bahagia cuma datang saat gajimu naik atau saat liburan ke Bali. Itu berarti 90% hidupmu akan terasa hambar. Padahal, hidup ini bukan highlight Instagram, tapi rangkaian momen kecil sehari-hari.


Aku jadi ingat satu kalimat yang pernah aku dengar: “Kalau kamu tidak bisa menemukan bahagia dalam hal-hal kecil, kamu tidak akan menemukannya dalam hal-hal besar.”

Awalnya aku agak skeptis. Masa iya sih? Tapi setelah aku alami sendiri, ternyata benar. Bahagia besar itu seperti bonus. Bahagia kecil lah yang menjaga aku tetap waras setiap hari.


Aku pernah melewati masa di mana aku merasa hidupku berat banget. Rasanya seperti semua masalah menumpuk jadi satu. Tapi anehnya, yang bikin aku tetap bisa bertahan bukanlah solusi instan atau pencapaian besar. Justru hal-hal receh yang sering diremehkan: obrolan ringan sama teman, senyum sopir ojek online, secangkir teh manis hangat di malam dingin.

Itulah alasan kenapa sekarang aku lebih sering memperhatikan detail kecil di sekitarku. Karena di sanalah bahagia sering bersembunyi.


Tentu, ada kalanya aku masih tergoda untuk berpikir, “Ah, aku baru bisa bahagia kalau sudah sukses besar.” Tapi setiap kali pikiran itu muncul, aku mencoba menertawakan diriku sendiri. Karena faktanya, bahkan sandal yang tiba-tiba aku temukan setelah lama hilang bisa bikin aku lebih bahagia daripada bonus akhir tahun.


Mungkin ini juga soal kebiasaan. Kalau aku terbiasa menganggap hal kecil itu nggak penting, maka aku akan terus merasa kosong. Tapi kalau aku melatih diriku untuk peka, aku bisa mengoleksi momen-momen kecil itu. Dan lama-lama, koleksinya jadi cukup banyak untuk membuat hati terasa penuh.

Aku ingin hidupku seperti itu. Hidup yang sederhana tapi kaya dengan momen kecil yang berarti. Karena toh, kalau dipikir-pikir, bahagia itu bukan sesuatu yang harus dicari jauh-jauh. Bahagia itu sering sudah ada di dekat kita, cuma kita yang nggak sadar.


Sekarang, aku lebih sering mengucapkan terima kasih untuk hal-hal kecil. Untuk pagi yang cerah, untuk nasi hangat yang pas matangnya, untuk chat singkat dari orang yang aku sayang. Kadang aku ucapkan terima kasih sambil bercanda, “Thanks, semesta.” Tapi dalam hati, aku benar-benar tulus.

Mungkin itu rahasia sederhana: berhenti menganggap bahagia itu harus luar biasa. Karena sejatinya, bahagia itu justru terselip di hal-hal kecil yang sering kita anggap sepele.

Dan aku ingin terus belajar menemukannya.

Posting Komentar