Ada satu hal yang semakin sering aku sadari belakangan ini: tidak semua orang yang mampir dalam hidup kita itu ditakdirkan untuk menetap lama. Ada yang datang sebentar, hanya lewat, lalu pergi. Kadang bahkan mereka datang tanpa permisi, membuat hati kita bergetar, lalu pergi tanpa pamit. Dan anehnya, justru yang sebentar-sebentar itu kadang meninggalkan bekas paling dalam.
Aku suka menyebutnya “jejak yang tersisa”. Jejak yang entah bagaimana, tetap ada, meski orangnya sudah lama hilang dari radar. Kadang muncul dalam bentuk kenangan kecil yang bikin senyum tipis, kadang malah bikin dada sesak, tergantung bagaimana pertemuan itu terjadi dan berakhir.
Yang jelas, aku percaya setiap pertemuan singkat punya maksudnya sendiri. Kalau hidup ini seperti buku, maka mereka adalah tokoh-tokoh cameo yang cuma muncul sebentar, tapi entah kenapa justru kalimat-kalimat mereka yang sering kuingat.
Aku masih ingat satu pertemuan singkat yang sampai sekarang nggak bisa hilang dari kepalaku. Itu terjadi di sebuah kafe kecil, waktu hujan deras. Aku masuk hanya untuk berteduh, karena payungku entah kenapa selalu rusak di momen genting. Aku duduk, memesan kopi hitam, lalu sibuk menatap jendela berembun. Dan di situ, seseorang—yang bahkan aku tidak sempat tahu namanya—menyapaku.
Dia bilang sesuatu yang sederhana, “Hujan itu aneh ya, bisa bikin orang merasa sendiri, tapi juga bisa bikin orang merasa ditemani.”
Aku hanya nyengir waktu itu, menganggapnya komentar random. Tapi entah kenapa, kalimat itu nempel di kepalaku sampai sekarang. Lucu ya, bagaimana orang asing bisa meninggalkan kalimat yang bertahan lebih lama daripada beberapa obrolan panjang dengan orang terdekat.
Pertemuan singkat juga seringkali jadi pengingat bahwa kita ini nggak pernah benar-benar sendiri. Di jalan, di kereta, di antrian panjang, kita selalu bersinggungan dengan banyak orang. Kadang hanya sekadar bertukar senyum, kadang berbagi keluhan soal betapa lambatnya kasir di minimarket, kadang malah tiba-tiba jadi curhat panjang dengan orang yang nggak akan pernah kita temui lagi.
Ada satu kejadian lucu waktu aku naik kereta jarak jauh. Aku duduk di samping seorang bapak-bapak yang kelihatannya tipe orang pendiam. Eh, baru sejam perjalanan, dia sudah cerita tentang cucunya, koleksi bonsai, sampai rahasia resep sambal yang katanya bisa bikin menantu betah di rumah. Aku hanya mengangguk-angguk, kadang ikut tertawa. Besoknya aku turun, dia turun, dan kita nggak pernah bertemu lagi. Tapi sampai sekarang, setiap aku makan sambal, aku jadi ingat obrolan itu. Entah kenapa, hangat.
Itulah yang aku maksud dengan jejak. Tidak semua jejak harus berupa luka. Ada jejak-jejak kecil yang justru mengingatkan kita kalau dunia ini tidak sesepi yang kita pikir.
Namun, tentu saja, ada juga pertemuan singkat yang meninggalkan jejak pahit. Orang-orang yang datang dengan senyum hangat, memberi rasa nyaman, lalu tiba-tiba hilang begitu saja. Kita bahkan seringkali tidak punya kesempatan untuk menanyakan “kenapa”.
Aku pernah bertemu seseorang di sebuah perjalanan singkat ke luar kota. Kami duduk bersebelahan di bus malam, ngobrol panjang lebar soal hidup, soal mimpi, soal bagaimana rasanya jadi dewasa yang ternyata jauh lebih ribet daripada ekspektasi. Malam itu rasanya seperti bertemu sahabat lama. Tapi besok paginya, dia hilang begitu saja, bahkan tanpa ucapan selamat tinggal.
Sakit? Iya. Aneh? Banget. Tapi dari situ aku belajar bahwa tidak semua yang indah harus bertahan lama. Kadang keindahan justru ada karena ia singkat. Seperti kembang api, seperti pelangi, seperti secangkir kopi yang cepat dingin kalau dibiarkan.
Aku sering merenung tentang konsep “sementara”. Kenapa kita cenderung menganggap sesuatu yang sementara itu kurang berarti? Padahal, justru banyak hal yang sementara lebih membekas. Pertemuan singkat, percakapan kecil, bahkan tatapan mata yang cuma beberapa detik, bisa lebih lama melekat di hati daripada hubungan bertahun-tahun yang hambar.
Mungkin, karena dalam hal-hal singkat itu, kita cenderung lebih hadir. Kita tahu itu akan cepat berakhir, jadi kita benar-benar ada di momen itu. Kita mendengar dengan sungguh-sungguh, merasakan setiap detiknya, tanpa banyak distraksi.
Aku pernah membaca sebuah kalimat (yang aku lupa siapa penulisnya), bunyinya kira-kira begini: “Hidup adalah tentang orang-orang yang datang dan pergi, tapi yang benar-benar penting adalah apa yang mereka tinggalkan di dalam diri kita.”
Kalau kupikir-pikir, benar juga. Kita ini sebenarnya hasil kumpulan jejak-jejak dari orang-orang yang pernah kita temui. Dari guru SD yang bilang aku jago menggambar, sampai teman SMP yang dengan brutal jujur bilang gambarku jelek. Dari barista random yang ngajarin aku cara minum kopi tanpa gula biar bisa merasakan rasa asli, sampai kenalan sebentar yang mengajarkanku untuk lebih berani bilang “tidak”.
Aku adalah mosaik dari semua pertemuan itu. Dan mungkin, kamu juga.
Tentu, ada momen di mana aku berharap beberapa orang bisa lebih lama tinggal. Tapi seiring waktu, aku belajar menerima bahwa tidak semua orang bisa kita paksa menetap. Mereka punya jalannya sendiri, sama seperti aku juga punya.
Kalau dipikir-pikir, bukankah kita sendiri juga sering jadi “pertemuan singkat” bagi orang lain? Kita mungkin nggak sadar, tapi bisa jadi ada orang yang masih mengingat obrolan kecil kita di halte bus, atau senyum tipis kita di kasir swalayan, atau bahkan kata-kata spontan yang kita lontarkan tanpa sadar. Mungkin kita pernah meninggalkan jejak tanpa kita sadari.
Itu bikin aku jadi lebih berhati-hati dengan kata-kata dan sikap. Karena siapa tahu, sesuatu yang kecil bagiku bisa jadi besar buat orang lain.
Ada satu humor tipis yang sering muncul di kepalaku: kalau hidup ini semacam drama panjang, berarti kita ini bukan hanya pemeran utama di cerita sendiri, tapi juga cameo di cerita orang lain. Masalahnya, kita nggak pernah tahu adegan cameo kita itu penting atau nggak. Bisa jadi cuma lewat di latar belakang, bisa jadi justru bikin cerita orang lain berubah.
Lucu kan, bagaimana sebuah senyum kecil bisa jadi turning point di hidup seseorang? Aku pernah mendengar cerita dari seorang teman, dia hampir menyerah di satu titik hidupnya. Tapi ada orang asing yang tiba-tiba bilang, “Semangat ya, aku percaya kamu bisa.” Kata-kata random itu jadi penyelamatnya. Orang asing itu mungkin sudah lupa, tapi temanku tidak pernah melupakan.
Kalau begitu, apa yang bisa kupelajari dari semua ini?
Mungkin sederhana saja: aku ingin lebih menghargai setiap pertemuan, sekecil apa pun itu. Tidak lagi meremehkan percakapan singkat, tidak lagi menganggap enteng tatapan mata atau senyum tipis. Karena siapa tahu, justru di situlah hidup sedang menitipkan pesan.
Pertemuan singkat mungkin tidak memberi kita akhir bahagia yang panjang. Tapi ia bisa memberi awal dari sebuah kesadaran. Kesadaran bahwa hidup ini dipenuhi oleh sambungan-sambungan kecil, dan sambungan itu lah yang membuat kita merasa lebih manusia.
Aku menulis ini sambil teringat banyak wajah. Beberapa samar, beberapa jelas. Ada yang bikin aku tersenyum kecil, ada juga yang bikin aku menarik napas panjang. Mereka semua, meski hanya sebentar, telah meninggalkan jejak yang ikut membentuk siapa aku hari ini.
Dan mungkin, suatu hari nanti, aku pun akan jadi “pertemuan singkat” yang orang lain ceritakan. Entah dalam bentuk baik atau buruk, aku hanya bisa berharap jejakku tidak terlalu menyakitkan.
Pada akhirnya, pertemuan singkat itu mengajarkanku satu hal: yang singkat tidak selalu sia-sia. Yang sebentar tidak selalu sepele. Karena waktu tidak bisa diukur hanya dari panjangnya, tapi juga dari dalamnya.



Posting Komentar