Ada satu momen dalam hidupku yang sampai sekarang masih aku ingat jelas: malam itu aku sendirian di kamar, lampu dimatikan, hanya ditemani suara kipas angin tua yang kadang bunyinya lebih horor dari soundtrack film thriller. Aku rebahan, tatapanku kosong ke langit-langit, pikiran muter ke sana ke mari tanpa arah. Dan tiba-tiba… aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Sunyi malam itu bukan sekadar ketiadaan suara, tapi semacam ruang luas di dalam kepalaku yang sebelumnya penuh dengan kebisingan.
Di situ aku sadar: kesendirian itu ternyata bukan kutukan, tapi guru. Guru yang nggak pernah marah kalau muridnya telat datang. Guru yang nggak banyak bicara, tapi ngajarin lewat rasa. Guru yang kadang nyebelin, karena bikin kita harus berhadapan langsung dengan diri sendiri—tanpa distraksi, tanpa filter, tanpa basa-basi.
Dan semakin aku tumbuh, semakin aku yakin: sunyi itu bukan sekadar jeda, tapi panggung tempat banyak jawaban bermunculan. Kadang jawaban itu sederhana, kadang menohok, kadang bikin kita ketawa miris. Tapi yang pasti, ia datang ketika aku berhenti mengejar kebisingan, lalu duduk diam di hadapan sunyi.
Kesendirian yang Awalnya Ditakuti
Jujur aja, aku dulu termasuk orang yang nggak betah sendirian. Rasanya hampa. Nggak ada yang bisa diajak ngobrol, nggak ada suara tawa yang bisa mengisi ruang. Pokoknya sunyi itu identik dengan kesepian, dan kesepian itu identik dengan sesuatu yang salah. Jadi setiap kali aku merasa sendiri, buru-buru aku mencari distraksi: nonton film, scroll media sosial, buka chat siapa pun yang lagi online, bahkan kadang sok-sokan rajin belajar biar ada kegiatan.
Tapi makin ke sini, aku sadar: mungkin yang aku takuti bukan sunyinya, tapi suara di dalam kepalaku sendiri. Karena begitu sepi datang, nggak ada lagi pengalih perhatian, dan aku dipaksa mendengar isi kepalaku yang kadang berisik banget: pertanyaan tentang masa depan, penyesalan tentang masa lalu, atau sekadar ocehan kecil kayak “kenapa sih tadi aku harus ngomong begitu ke orang itu?”.
Awalnya melelahkan, tapi lama-lama aku belajar untuk berhenti melarikan diri. Aku biarkan diriku duduk bersama suara-suara itu. Dan pelan-pelan, aku sadar bahwa kesendirian bukan musuh. Ia hanya cermin besar yang memantulkan semua hal yang selama ini aku hindari.
Sunyi yang Mengajarkan
Aku mulai menemukan bahwa dalam sunyi, ada pelajaran yang nggak bisa didapat dari keramaian. Misalnya, tentang menerima diri sendiri.
Ketika kita lagi di tengah orang banyak, kita gampang banget menyembunyikan bagian-bagian diri yang rapuh. Kita bisa pasang topeng senyum, kita bisa bikin orang lain percaya kalau kita baik-baik saja. Tapi ketika sendirian, semua topeng itu copot dengan sendirinya. Di depan cermin, aku bisa lihat jelas: oh, ternyata aku lagi capek banget. Oh, ternyata aku masih belum berdamai dengan satu luka lama. Oh, ternyata aku terlalu keras sama diri sendiri.
Di situ, aku mulai belajar untuk nggak selalu jadi “orang yang kuat”. Kesendirian ngajarin aku untuk jujur, bahwa manusia memang rapuh. Dan justru dalam rapuh itulah ada ruang untuk tumbuh.
Selain itu, sunyi juga ngajarin aku tentang sabar. Pernah nggak sih kamu nunggu sesuatu yang rasanya lama banget, padahal cuma nunggu nasi mateng di rice cooker? Sunyi itu mirip-mirip kayak gitu: awalnya bikin nggak betah, tapi kalau kamu tahan sebentar, ternyata hasilnya manis. Aku belajar bahwa nggak semua hal harus buru-buru diselesaikan. Ada hal-hal yang butuh waktu, butuh hening, butuh kita diam dulu baru bisa kelihatan jalannya.
Obrolan dengan Diri Sendiri
Salah satu hal paling aneh tapi sekaligus menyembuhkan yang aku dapat dari sunyi adalah kebiasaan ngobrol sama diri sendiri. Kedengarannya gila ya? Tapi serius, kadang aku benar-benar bertanya ke diri sendiri, “Kenapa kamu sedih?” atau “Apa yang sebenarnya kamu cari sekarang?”.
Dan anehnya, selalu ada jawaban. Kadang jawabannya bikin aku ngakak sendiri karena terlalu jujur, kayak, “Ya sedih aja, soalnya pengen makan martabak tapi lagi bokek.” Tapi kadang juga jawabannya dalam banget, sesuatu yang nggak aku sadari selama ini. Misalnya, aku sadar kalau ternyata banyak rasa gelisahku muncul bukan karena orang lain, tapi karena ekspektasiku sendiri yang kelewat tinggi.
Obrolan-obrolan itu sederhana, tapi pelan-pelan bikin aku ngerti bahwa aku nggak perlu selalu cari validasi dari luar. Aku bisa jadi teman baik buat diriku sendiri. Dan jujur, itu perasaan yang melegakan banget.
Sunyi di Tengah Keramaian
Lucunya, aku juga sadar kalau sunyi itu nggak selalu hadir di tempat sepi. Kadang, justru aku menemukan momen paling hening di tengah keramaian. Misalnya, waktu lagi nongkrong rame-rame, tapi pikiranku melayang jauh. Atau ketika aku ada di konser, musiknya keras banget, tapi entah kenapa di dalam hati rasanya sepi.
Awalnya aku pikir itu aneh, tapi lama-lama aku sadar: sunyi itu bukan tentang nggak ada suara, tapi tentang keadaan batin. Dan kadang, justru di tengah bising aku bisa nemu ruang hening yang kecil tapi berarti. Ruang itu jadi tempat aku berhenti sebentar, tarik napas, dan merasa… oh, ternyata aku masih ada, aku masih sadar.
Bercanda dengan Sunyi
Aku nggak mau bikin kesannya sunyi itu selalu serius dan berat. Ada kalanya sunyi juga bisa lucu, kalau kita mau lihat dari sisi lain. Misalnya, aku pernah duduk sendirian di warung kopi, tanpa musik, tanpa ngobrol sama siapa pun. Awalnya canggung banget. Tapi lama-lama aku mikir: “Gila ya, ternyata aku bisa menghabiskan 2 jam cuma buat ngeliatin orang pesen kopi dan dengerin sendok beradu sama gelas.”
Dan dari situ aku malah ketawa sendiri. Sunyi itu bisa jadi hiburan, asal kita nggak buru-buru kabur. Kadang hal-hal kecil yang nggak pernah kita perhatiin jadi kelihatan jelas: suara burung di pagi hari, tetesan air di wastafel, atau bahkan derit kursi tua. Hal-hal receh yang biasanya tenggelam oleh kebisingan, tiba-tiba jadi bahan kontemplasi.
Saat Sunyi Menjadi Obat
Semakin sering aku duduk bersama sunyi, semakin aku sadar: ia punya kekuatan penyembuhan. Bukan penyembuhan instan yang bikin semua luka hilang dalam semalam, tapi penyembuhan pelan-pelan, kayak obat herbal yang pahit tapi manjur.
Ada luka-luka lama yang baru benar-benar aku hadapi ketika aku berani duduk diam. Ada air mata yang baru bisa keluar ketika nggak ada siapa pun di sekitar. Ada kelegaan yang baru aku rasakan setelah berjam-jam sendirian tanpa distraksi.
Sunyi itu bukan menghapus masalah, tapi memberi ruang bagi hati untuk bernapas. Dan kadang, itu lebih dari cukup.
Aku, Sunyi, dan Jawaban
Kalau sekarang ada yang tanya: “Kenapa kamu suka sendirian?” Aku mungkin bakal jawab: karena di situ aku ketemu diriku sendiri. Karena di situ aku bisa berhenti sebentar dari hiruk-pikuk dunia, dan menemukan jawaban yang nggak bisa aku temukan di luar.
Sunyi mengajarkanku untuk melihat ke dalam, bukan hanya ke luar. Mengajarkanku untuk mendengar, bukan sekadar bicara. Mengajarkanku bahwa nggak apa-apa kalau aku belum punya semua jawaban sekarang—karena mungkin jawaban itu akan datang pelan-pelan, lewat momen-momen hening yang aku alami.
Dan yang paling penting: sunyi bikin aku sadar kalau aku nggak pernah benar-benar sendirian. Selalu ada diriku, selalu ada Tuhan yang diam-diam menemani di balik sepi.
Jadi, kalau kamu sekarang lagi merasa sendirian, jangan buru-buru kabur. Coba duduk sebentar. Rasakan detak jantungmu, dengarkan suara napasmu, biarkan pikiranmu berkelana. Mungkin awalnya terasa nggak nyaman, tapi percayalah, di balik sunyi ada pelajaran yang berharga.
Karena pada akhirnya, kesendirian bukan hukuman. Ia adalah ruang kelas tempat kita belajar tentang diri sendiri. Dan sunyi… adalah guru paling sabar yang pernah aku temui.



Posting Komentar