Ada saat-saat di mana aku kehabisan kata. Bukan karena tak ada yang ingin disampaikan, tetapi karena semua kata terasa terlalu kecil untuk menampung apa yang sedang kurasakan. Di titik itu, aku belajar bahwa tidak semua hal perlu dijelaskan. Ada hal-hal yang hanya bisa dipahami ketika aku diam, dan membiarkan hening bekerja dengan caranya sendiri.
Dunia sering mengajarkanku untuk cepat merespons. Cepat menjawab, cepat bereaksi, cepat memberi pendapat. Seolah diam adalah tanda kekalahan atau ketidaktahuan. Padahal, semakin sering aku memaksakan kata-kata keluar, semakin terasa kosong maknanya. Sampai akhirnya aku menyadari, mungkin bukan jawabannya yang belum kutemukan, tapi ruang untuk mendengarnya yang belum kusediakan.
Hening datang tanpa suara, tapi kehadirannya terasa penuh. Ia tidak memaksa, tidak menghakimi, dan tidak menuntut apa pun dariku. Dalam hening, aku tidak perlu berpura-pura kuat atau baik-baik saja. Aku hanya perlu hadir sebagai diriku sendiri, dengan segala kebingungan yang masih berserakan.
Aku pernah mencoba menyelesaikan luka dengan banyak bicara. Mengulang cerita yang sama, mencari pembenaran, berharap ada satu kalimat yang bisa membuat semuanya terasa masuk akal. Tapi semakin aku bicara, semakin lelah rasanya. Sampai akhirnya aku berhenti, duduk diam, dan membiarkan perasaan itu ada tanpa harus dijelaskan.
Di situlah aku mulai mengerti, bahwa hening bukan kekosongan. Ia adalah ruang. Ruang untuk memahami apa yang selama ini tertutup oleh kebisingan pikiran sendiri. Ruang untuk menerima bahwa tidak semua pertanyaan harus segera dijawab, dan tidak semua perasaan harus segera diberi nama.
Dalam hening, aku mulai mendengar hal-hal kecil yang sebelumnya terabaikan. Nafas yang naik turun, detak jantung yang tak pernah berhenti bekerja, dan suara batin yang selama ini tenggelam oleh hiruk pikuk dunia. Suara itu tidak berteriak, tapi jujur. Tidak mendesak, tapi konsisten.
Aku belajar bahwa diam bukan berarti menyerah. Terkadang, diam adalah bentuk keberanian paling sederhana. Keberanian untuk tidak bereaksi berlebihan. Keberanian untuk menunda jawaban sampai hatiku benar-benar siap. Keberanian untuk mengakui bahwa aku juga manusia yang butuh waktu.
Hening juga mengajarkanku tentang penerimaan. Bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kuubah, hanya bisa kupeluk pelan-pelan. Ada kejadian yang tidak perlu dimengerti secara utuh, cukup diterima sebagai bagian dari perjalanan. Dan dalam diam, aku tidak lagi sibuk melawan kenyataan.
Semakin lama aku berdamai dengan hening, semakin aku paham bahwa hidup tidak selalu menuntut penjelasan. Kadang ia hanya meminta kehadiran. Hadir sepenuhnya, tanpa topeng, tanpa narasi indah, tanpa perlu terlihat kuat. Cukup jujur pada diri sendiri.
Kini aku tidak lagi takut pada hening. Aku justru mencarinya ketika dunia terasa terlalu ramai. Karena di sanalah aku menemukan jawaban yang tidak pernah bisa kubentuk dengan kata-kata. Jawaban yang tidak terdengar, tapi terasa menenangkan.
Dan mungkin, ketika kita berani diam sejenak, kita akan menyadari satu hal sederhana: bahwa hening tidak pernah benar-benar kosong. Ia hanya menunggu kita cukup tenang untuk mendengarkannya.


Posting Komentar