SENANDIKA
Berbicara dengan diri sendiri

Mendengar Nafas Sendiri Saat Dunia Terasa Terlalu Keras - Senandika #29

Ketika dunia berisik dan tuntutan datang bersamaan, mungkin yang paling kita butuhkan hanyalah berhenti dan mendengar nafas sendiri.

Dunia terasa semakin keras akhir-akhir ini. Bukan hanya karena suara bising di luar sana, tetapi karena tuntutan yang datang dari segala arah tanpa jeda. Semua seolah meminta perhatian, respons cepat, dan hasil sempurna. Di tengah keramaian itu, aku sering lupa bagaimana rasanya benar-benar hadir untuk diriku sendiri.

Aku berjalan, berbicara, dan menjalani hari seperti biasa, tapi ada bagian dalam diriku yang tertinggal. Ia kelelahan, sesak, dan tak sempat berbicara. Aku baru menyadarinya ketika tubuh mulai memberi tanda—lelah yang tak kunjung hilang, pikiran yang sulit diam, dan perasaan kosong yang datang tanpa sebab jelas.

Saat itulah aku mulai berhenti. Bukan berhenti dari hidup, tapi berhenti sejenak dari kebiasaan terus mengejar. Aku duduk dalam diam, tanpa musik, tanpa layar, tanpa distraksi. Dan di antara keheningan itu, aku mulai mendengar sesuatu yang selama ini terabaikan: nafasku sendiri.

Nafas yang naik dan turun pelan, tanpa tuntutan apa pun. Nafas yang setia menemani sejak awal, bahkan saat aku sibuk mengabaikan diriku sendiri. Di sana aku sadar, bahwa aku terlalu sering mendengarkan dunia, tapi jarang mendengarkan tubuh dan jiwaku sendiri.

Dunia memang tidak akan pernah benar-benar diam. Akan selalu ada suara, perbandingan, ekspektasi, dan penilaian. Tapi di antara semua itu, aku belajar bahwa aku tetap bisa menciptakan ruang kecil untuk diriku sendiri. Ruang yang tidak berisik, tidak menekan, dan tidak memaksaku menjadi apa pun.

Mendengar nafas sendiri bukan tentang teknik atau ritual rumit. Ia hanya tentang kehadiran. Tentang mengizinkan diri untuk merasa tanpa harus segera memperbaiki. Tentang mengakui bahwa lelah itu nyata, dan aku tidak perlu menyangkalnya hanya demi terlihat kuat.

Aku mulai menyadari betapa seringnya aku menahan nafas, secara harfiah dan batin. Menahan emosi, menahan tangis, menahan marah, menahan kecewa. Seolah semua perasaan itu harus segera disingkirkan agar aku bisa terus berjalan tanpa gangguan.

Padahal, perasaan yang ditekan tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya menunggu waktu untuk muncul dengan cara yang lebih melelahkan. Dan di saat dunia terasa terlalu keras, mendengar nafas sendiri menjadi pengingat bahwa aku masih hidup, masih ada, dan masih layak didengarkan.

Ada hari-hari di mana hanya dengan menarik nafas panjang, aku bisa bertahan. Tidak ada solusi besar, tidak ada pencerahan instan. Hanya satu tarikan nafas yang jujur, dan satu hembusan yang perlahan melepaskan beban yang tak sempat kuurai dengan kata-kata.

Aku belajar bahwa tidak semua hari harus produktif. Tidak semua waktu harus diisi pencapaian. Ada hari-hari yang cukup dijalani dengan selamat, tanpa luka baru. Dan itu pun sudah merupakan bentuk kemenangan kecil yang sering tidak kita sadari.

Mendengar nafas sendiri juga mengajarkanku tentang batas. Bahwa aku tidak harus selalu tersedia. Tidak harus selalu kuat. Tidak harus selalu mengerti segalanya sekarang juga. Ada hak untuk berkata cukup, dan ada keberanian dalam memilih berhenti sejenak.

Dalam diam, aku mulai memahami diriku dengan cara yang lebih lembut. Bukan lewat analisis berlebihan, tapi lewat penerimaan sederhana. Bahwa aku manusia biasa, dengan energi yang terbatas dan hati yang bisa lelah.

Dunia mungkin tidak akan memperlambat langkahnya untukku. Tapi aku bisa memilih untuk memperlambat langkahku sendiri. Aku bisa memilih untuk tidak selalu ikut berisik, tidak selalu ikut terburu-buru, dan tidak selalu ikut larut dalam kebisingan yang melelahkan.

Ketika aku mendengar nafas sendiri, aku merasa pulang. Pulang ke tubuh ini. Pulang ke perasaan yang selama ini kuabaikan. Pulang ke versi diriku yang tidak menuntut kesempurnaan, hanya kejujuran.

Aku tidak selalu menemukan jawaban dalam diam. Tapi aku menemukan ketenangan. Dan terkadang, ketenangan jauh lebih dibutuhkan daripada jawaban. Karena dari sanalah aku bisa kembali berdiri dengan lebih utuh.

Mungkin kita tidak bisa membuat dunia menjadi lebih pelan. Tapi kita bisa belajar untuk lebih lembut pada diri sendiri. Dan mungkin, mendengar nafas sendiri adalah langkah paling sederhana untuk memulai.

Posting Komentar